-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

8 Mar 2012

ELEGI JALANAN

  • March 08, 2012
  • by Nur Imroatun Sholihat
Ada empat fakta penting tentang lelaki itu. Pertama, tempat favoritnya adalah jalanan. Orang menganggapnya sia-sia tetapi aku terkagum-kagum dibuatnya. Kedua, dia tidak mungkin lupa bahwa aku selalu menyukai idealismenya. Ketiga, dia terlalu mempengaruhi kehidupanku. Terakhir, sebenarnya dia tahu aku tidak bisa semudah itu menghapusnya. Aku relatif tidak terlalu yakin pada fakta keempat tetapi semoga saja benar. Aku harap dia tahu aku belum bisa melupakannya sampai sekarang.

Lelaki itu tengah mengacungkan tangan terkepal penuh keyakinan. Debu jalanan membasuh wajahnya yang mulai memerah. Aku terus terhantui perasaan begitu ingin menghapus keringatnya. Teriakan lantangnya selalu berhasil menghipnotis kami semua yang bergelar parlemen jalanan. Khusus untukku, dia bukan hanya seorang orator yang ulung. Setiap kata yang dia ucapkan membuat perasaanku mengharu biru.

“Tuhan, aku ingin menghapus keringatnya. Itu saja” doaku lirih.

Tahukah kalian bagaimana rasanya jika lelaki yang sangat kalian impikan bertahun-tahun terlalu sibuk memikirkan negara? Lelaki itu bahkan menyebut politik sebagai panggilan hati. Dia begitu gelisah akan nasib negara ini. Jika ditanya soal cita-cita, dia selalu menjawab demikian, “Pada akhirnya, hanya satu cita-cita tertinggi dalam politik, menjadi seorang negarawan.”

Negarawan muda itu masih saja memaksakan diri berdiri meneriakkan jeritan rakyat negeri ini. Perasaanku tak menentu karena dia tak kunjung menurunkan tempo orasinya. Dia masih saja terlalu bersemangat dengan hiruk-pikuk jalanan. Wajahnya menampakkan rona sangat kelelahan. Ingin rasanya menyuruhnya istirahat sejenak.

Aku tak sengaja mencintainya, merahasiakannya dalam setiap perbuatan kecilku. Aku tak sengaja sangat terlibat dalam kehidupannya meskipun dia telah memintaku mengakhirinya setahun yang lalu. Aku, seandainya bisa mengatur perasaanku sendiri, tak ingin bertingkah sebodoh ini. Dia berhasil mengganti isi otakku yang semula “politik=sia-sia” menjadi “politik=kehidupan”. Kadang ingin sekali aku mengurangi frekuensi memikirkan politik. Memikirkan politik selalu membuatku teringat padanya.

Dinamika jalanan menjadi sedemikian riuh hanya dalam hitungan detik. Lamunanku tersentak saat menyadari badanku basah kuyup karena siraman gas air mata. Berkali-kali ku dengar langkah lari ketakutan. Aku belum bergerak untuk melarikan diri. Perhatianku terkuras untuk mencari di mana lelaki itu berada. Mungkinkah dia sudah menyelamatkan diri sedari tadi? Aku yakin dia tidak akan sepengecut itu. Namun entah mengapa, dalam keadaan seperti ini aku ingin dia melarikan diri saja.

Aku berlari mencari lelaki itu. Aku takut bila dia disekap atau ditahan oleh aparat. Tetapi di sekelilingku tak ku lihat dia, Air mataku menetes. Aku yakin ini tak semata karena gas air mata, tetapi juga karena aku begitu takut. Suasana yang mencekam itu mendadak bergerak pelan ketika aku melihatnya tepat di hadapanku, Suara gemuruh ketakutan yang mencekam menjadi harmoni pengiringnya. Dia samar-samar tersenyum padaku. Ku raba jantungku, detaknya begitu keras. Setiap kali matanya memandangku, sekelilingku seolah  terbakar lalu lenyap. Aku tahu, aku begitu rindu senyum calon negarawan itu.

“Dor!” Bunyi yang begitu memekak telinga tiba-tiba saja berderu lalu hilang. Sesosok badan mendadak kehilangan keseimbangan, mulai terjatuh. Aku yang sedari tadi memandangnya lurus di hadapanku, tiba-tiba saja tak melihatnya lagi. Dia terjatuh tepat di depanku. Tangannya memegang dadanya, sesuatu telah berhasil bersarang di sana. Cairan merah pekat mulai menggenang. Sejenak aku terpaku benar-benar tak sadar apa yang terjadi. Setelah itu air mataku seolah tak ingin berhenti. Dia tertembak persis seperti yang kubaca tentang aktivis Trisakti saat aksi reformasi. Pikiranku kacau, entah mengapa suasana sekitarku demikian juga. Mahasiswa yang ada di jalanan mendadak makin berhamburan menyelamatkan diri. Semua lari kalang-kabut. Di dalam hatiku juga berlarian bermacam kepedihan yang tak mampu lagi ku tata rapi. Aku tahu saat itu bahwa aku mungkin tidak akan bisa menemuinya lagi. Tetapi aku hanya mau dia hidup.

“ Tuhan, aku mau dia hidup. Tak apalah kalau kelak aku tak pernah diizinkan untuk menghapus keringatnya” Desisku lirih. Cairan dari tubuhnya menggenangi jalanan, matahari seolah merebus darahnya tepat di atas aspal hitam itu.

Bagaimana perasaanmu jika lelaki impian, orang yang sangat kamu cintai, tertembak di hadapanmu? Bagaimana pula bila kau melihat aliran darah itu mengucur begitu deras sebelum sempat mengucapkan perasaanmu padanya? Aliran darahnya membasahi seluruh jaket alamamaternya. Aku mendengar rintihannya. Seumur hidup aku tak pernah mendengar dia mengeluh sedikit pun tentang kehidupannya kecuali tentang politik. Baru kali ini aku bisa mendengar dia merintih, mengeluh--napasnya begitu berat. Dia mengeluh tentang dirinya sendiri, tentang sakit yang mungkin tidak terperi lagi. Aku tak melihat lingkaran berapi-api itu lagi. Dia menutup matanya. Mungkin luka itu terlalu perih.

Lelaki itu mengembuskan napas terakhirnya tepat saat aku berharap sekali dia akan tersenyum lagi untukku. Lelaki yang membuatku tak sengaja berkenalan dengan politik itu adalah lelaki pemilik senyum khas yang teramat ku rindukan. Lelaki itu mantan kekasihku yang dulu membuatku mengerti tentang idealisme. Lelaki itu memutuskan berpisah denganku karena aku tak begitu mampu mengimbangi pemikiran-pemikirannya. Lelaki itu membuatku mau belajar tentang realitas negara ini, agar kelak aku bisa mendampingi kecemerlangannya. Sekarang dia justru membuktikan padaku bahwa politik juga yang akhirnya menyingkirkannya.

Apakah kali ini aku menangis karena terlalu banyak gas air mata mampir di mataku? Mataku perih sekali, mungkin karena memang demikian rasanya gas air mata. Aih, kenapa air mataku tak mau berhenti?

Tuhan, apakah dia pernah menginginkanku seperti dia menginginkan keadilan? Apakah kegelisahan politiknya sebanding dengan kegelisahanku selama ini? Saat ini, dia bahkan tak menjawab satu pun pertanyaanku. Benarkah dia tak pernah mencintaiku lagi?
--------------------------
(Radar Tangerang,12 Februari 2011)
image source: here

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE