Gerak bola matanya melambat. Berulang kali kelopak matanya terjatuh, terpejam sejenak, lalu terbuka kembali. Binar matanya teduh. Dia mengusap matanya, mengalirkan energi kesabaran untuk menunggu hujan berujung. Sorot mata tenang menatap gemericik hujan. Alis matanya merahasiakan betapa ia ingin terlelap sembari menunggu waktu langit berhenti menangis.
Begitu banyak waktu yang aku butuhkan untuk sadar bahwa, bukan teka-teki perasaannya yang memilukan hatiku, tetapi ketidakhadirannya di dunia. Setahun setelah dia pergi, guratan nostalgia tentangnya tak kunjung sirna. Hampir setiap tempat yang memutar memori tentangnya membuat penglihatanku berlapis air mata. Setahun ternyata telah membuatku mengikhlaskan pertanyaan-pertanyaanku tidak terjawab.
Setahun sudah serpihan hatiku yang berserakan tak kunjung bergerak untuk merapikan diri. Aku yang begitu ingin beranjak dari memori masa lalu tentangnya tak bergerak sejengkal pun. Dia telah meninggalkan jejak-jejak menganga yang memenuhi luas hatiku. Saat cairan merah pekat menetes dari tubuhnya, aku begitu ingin bertanya tentang perasaannya. Kini aku mengerti mengapa aku kehabisan kata di depannya. Lebih dari sekadar tak terjawab, aku khawatir kalau dia tidak lagi berpijak di bumi.
ELEGI JALANAN (2)
Nur Imroatun Sholihat
January 07, 2013