SINGGAH 4
- July 31, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Belum genap sebulan kau pulang tetapi aku telah berziarah untuk kesekian kali. Tak henti-henti aku
menghampiri udara biru yang mengepungmu. Bayangan hitam putihmu mematung di hadapku dengan tatapan tak berkedip. Kakiku menapak tanah merah yang sama menunggui kau
terlelap. Aku
tak datang untuk menangis, menulis pesan, atau pun bercerita. Tak ada yang
benar-benar ku lakukan kecuali membunuh segala lara. Hatiku masih sesenyap ketika kau dibaringkan. Langit tetap sesunyi kala kau menyangga bumi dalam
dekapan.
Saat kau masih berpijak di bumi, aku begitu khawatir karena
tak bisa menyapa maupun menghapusmu. Namun saat demikian sekalipun, hatiku
tidak pernah dihantui sepi. Aku bergembira melihatmu dari kejauhan walau tak
pernah bisa mendekat ataupun menjauh. Dalam ketiadaan tawamu yang ku curi
pandang dari kejauhan, duniaku kesepian. Kini aku memikul rindu yang tak henti
mendesak-desak batin. Bayanganmu yang tak henti mengikuti membuat heningku menjadi-jadi.
“
Saat aku datang padanya untuk menyatakan perasaanku, dia bercerita bahwa tak lama
lagi nasibnya akan bergantung pada besi-besi di rumah sakit. Dia menyuruhku
menyerah saja.”
Perempuan itu telah berada di
sampingku menabur kelopak-kelopak putih pada gundukan di hadapku. Ini pertama kalinya aku bertemu dengannya di pusaramu. Langkah kakinya kembali tak terdengar di
telingaku. hatiku pucat pasi terhantami kata-katanya. Aku tahu mengapa kau menceritakan rahasia penting bersama kata
menyerah kepadanya. Menjadi satu-satunya orang yang mendengar
langsung rahasiamu, menjadi orang yang menerima isyarat langsung untuk menyerah—betapa
irinya aku.
“Tetapi aku bertekad menemaninya
waktu-waktu terakhirnya. Aku ingin menjadi seseorang yang mengucapkan selamat tinggal terdalam
kepadanya.”
Dia berdoa kemudian berlalu bersama kabut yang menebal.
Wajahku bergerimis. Bahkan saat aku merasa mengalami
perpisahan tersulit, aku tak bisa melawan pendapat perempuan itu. Dengan
segenap usahanya, semua orang sepakat siapa pemilik hati paling menggulita
sejak kepergianmu. Sementara aku tak bisa bersaing untuk selamat tinggal terdalam karena sampai
saat ini aku belum mengucap selamat tinggal sedikit pun.
Bagaimana aku harus melambaikan
perpisahan padamu yang setiap malam menghampiriku dalam mimpi? Kau selalu ada di
sini meskipun telah pergi. Aku telah berusaha sekuat tenaga mengikhlaskanmu tetapi
mengapa bayanganmu menatapku tanpa jeda.
Bisakah kau mempermudah langkahku
untuk beralih?
Atas nama
rindu, aku selalu menyelipkanmu dalam doa-doaku. Melarutlah bersama doa itu dan
tak usah berdiri di hadapku lagi. Berhentilah berbisik di sudut telingaku. Berhentilah tersenyum dalam
kenanganku. Berhentilah singgah dalam mimpiku. Berhentilah singgah dalam
jangkauan mata di setiap waktu. Aku tak ingin menua bersama jejak-jejakmu.
Bantu aku menyerah pada jarak yang
tak teratasi. Berhentilah menjemput perasaanku. Seperti ombak menjemput pantai, pasir-pasir yang
luruh dalam gemuruh--kau tahu pada akhirnya aku dan pasir-pasir itu harus tetap berdiri
sendiri.
Untuk pertama kalinya aku
mengumpulkan segenap daya menatap bayanganmu untuk segera berpisah. Aku benar-benar sedang berucap selamat tinggal kepadamu yang
membaurkan mimpi dan kenyataan. Tanganku melambai bersama wajah yang
berhujan badai. Maaf, kali ini sungguh biarkan aku menyerah.
Dalam langkah menjauh dari pusaramu,
bayangan itu tak lagi berjalan di hadapanku. Selamat tinggal lelaki yang selalu singgah di batin, aku akan tetap
menjumpaimu dalam doa-doaku. Akan tetapi, kau harus berhenti menjumpaiku. Berhentilah
membuat takdirku terus-menerus menapak di duniamu.
Langkah gemetar menjauhimu menyadarkan aku baru saja beralih dari hari-hari
paling berharga dalam hidupku. Namun, seperti ada tenaga yang mendorong pundakku. Aku
tahu kau sedang menguatkan langkahku.
“Terima kasih”
Untuk pertama kalinya kata dariku berhasil terucap untukmu. Saat kau masih nyata, kata ini adalah kata yang begitu ingin ku ucapkan padamu setiap hari. Setiap waktu.
Untuk pertama kalinya kata dariku berhasil terucap untukmu. Saat kau masih nyata, kata ini adalah kata yang begitu ingin ku ucapkan padamu setiap hari. Setiap waktu.
Hari ini adalah ziarah tersingkatku juga terakhirku.
--------------------------------------------------
(20130731)
0 Comments:
Post a Comment