JARAK
- August 31, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Secarik kertas yang berkibar bebas di
tangan kananmu seperti berpunggung sayap. Huruf-huruf yang tercetak di sana akan
menerbangkanmu meraih angan. Tawamu yang renyah menggema pagi ini. Seperti selembar
kertas itu, kakimu melayang ringan menjemput sesuatu yang dulu kerap kita sebut
kebahagiaan.
Di hari ini, secarik kertas di tanganku adalah kata-kata lara. Doa yang sama di pikiran kita terjawab berbeda melalui lembaran ini. Dulu saat kita bersama, mimpi ini adalah mimpi yang sering kita ucapkan riang. Wajah kita berbinar-binar membayangkan berpijak di belahan bumi yang berbeda dari tanah tempat kita berdiri saat ini.
Di hari ini, secarik kertas di tanganku adalah kata-kata lara. Doa yang sama di pikiran kita terjawab berbeda melalui lembaran ini. Dulu saat kita bersama, mimpi ini adalah mimpi yang sering kita ucapkan riang. Wajah kita berbinar-binar membayangkan berpijak di belahan bumi yang berbeda dari tanah tempat kita berdiri saat ini.
Bahkan setelah kita berpisah sekian
lama, kau masih mengingat angan itu, begitu juga aku.
“Jangan menangis. Masih banyak kebahagiaan
lain di luar sana. Percayalah.”
Kau berhenti di hadapku dengan mata
yang menyembunyikan terang. Kepalaku tertunduk. Aku tak berkedip khawatir
engkau menghilang saat ku mengerjap mata. Kau masih seperti dulu, dengan tenang
mendatangiku saat beban batin tak teratasi. Kau selalu menjadi orang pertama yang
menyadari betapa dekatnya air mataku dari sudut mata.
Hati terasa begitu perih membendung duka
yang meluap-luap. Keberadaanmu dalam jangkauan mata adalah sesuatu yang ku
andalkan ketika aku tak lagi berada di hatimu. Kini engkau meraih kesempatan
yang kau mimpikan sejak lama--yang membuat jarak tidak hanya memisahkan batin
tetapi juga raga. Sekarang kau berkemas-kemas untuk menyeberangi samudera sementara aku
terpasung sepi. Bagaimana menyembunyikan batin yang kebas dalam sekujur
badan gemetaran. Saat aku ingin menjadi orang pertama yang berucap selamat atas
lompatanmu, kenyataannya aku mungkin akan menjadi yang terakhir.
“Haruskah aku mengucap selamat
tinggal untuk jarak yang lebih jauh lagi?” Lirih kau berujar. Kau tahu aku kehilangan kata.
“Berpura-puralah mengucap selamat tinggal meskipun hatimu menolaknya.” Kau
membuka telapak tanganmu ke arahku kemudian melambaikannya.
Ada sesuatu yang sebaiknya tak
terucap. Suatu berita tidak mau
kudengar.
Aku tak ingin mendengar perpisahan untuk kedua kali tetapi kau memaksaku
menerimanya. Ku kumpulkan segenap usaha untuk berucap perpisahan meskipun hati berontak.
Aku tetap tidak berhasil seperti dulu ketika kau memintanya untuk pertama
kali. Haruskah aku berucap
selamat tinggal pada perpisahan yang tidak pernah ku setujui?
Saat hendak menangis, aku masih mencarimu
meskipun kita telah berpisah. Kita memutuskan tidak bersama walaupun kau masih
datang padaku untuk meredakan lara. Saat beban di pundak begitu sarat,
melihatmu berdiri di seberang sana membuatku tegar. Kita berpisah meskipun kau
masih menghampiriku tiba-tiba ketika hatiku memanggil.
Jangan berucap selamat tinggal dengan manis karena aku tidak bisa terjatuh lebih dalam lagi. Lemparlah aku dengan kasar hingga aku
terluka. Buatlah sebanyak-banyaknya usaha agar aku membencimu.
Dengan begitu aku tidak mencarimu lagi setelah ini. Jangan pernah membuat tanda perpisahan apapun. Diam-diam pergi dan
menghilanglah. Dengan begitu
kau tidak akan pernah tahu seberapa besar keinginanku agar kau tetap tinggal.
Bukan. Bukan itu yang aku rasakan.
Jangan pernah menjauh satu langkah
sekalipun. Walaupun hatimu tidak memandangku lagi, aku tidak bisa tidak
menatapmu. Aku selalu merindukan tangan yang menarikku saat ku terjatuh. Mataku terbiasa mencarimu saat terjebak dalam kerumunan. Selamatkan aku dari lara
tak bertepi karena jarak yang tidak berbelas kasihan padaku. Aku telah berusaha berlari sejauh
langkahmu tetapi pada akhirnya aku tak lain bak mengejar rembulan. Secepat
apapun aku berlari, kau akan berlari di depanku tanpa menoleh lagi.
Bulan tidak pernah berdiam tepat di atas
kepala. Bisakah aku menghapus jarak yang tersisipkan di antara aku dan rembulan
itu?
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
0 Comments:
Post a Comment