LUGU 2
- August 24, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Kau laksana cahaya: menyinari sekalipun tak kasat mata.
Tulisanmu seperti lirik
bernada. Dinamikamu crescendo dalam akapela bersahut-sahutan. Legato milikmu tak
berkesudahan. Jika tulisanmu adalah lagu, semua bagiannya adalah reffrain. Kau
tahu mengapa reffrain menjadi bagian yang paling sering diulang bukan?
Terasa benar ketika aku
bertemu denganmu: beberapa orang memang terlahir memesona begitu saja. Mungkin
tangisan pertamamu di dunia adalah harmonisasi nada. Kau tumbuh dalam melodi
para balerina. Saat melintas, kau membuat seluruh manusia yang berlalu lalang
mengiringi orkestramu. Bahkan angin bergerak dalam garis birama yang temponya
mengikuti ayunan tanganmu.
Ada alasan aku mencintai
tulisanmu. Kita memiliki alur berpikir yang sejalan. Ketika membaca baitmu, aku
seperti bercermin tentang diriku sendiri. Kita adalah resonansi nada. Aku
tergetar membaca tulisanmu karena persamaan jiwa di antara kita. Kau melompati
batas-batas yang dulu ku pikir adalah ketidakmungkinan. Aku tak ragu lagi
melihat dunia sebagai taman bermain seperti yang kau lakukan.
Karena cahayamu, langkahku
begitu ringan. Mungkin karena pijarmu, aku bisa melihat jalan di depan begitu terang.
Seleraku bersandar di
pihakmu. Sejak mengenalmu, aku semakin suka memandang langit barangkali kau
sedang mengabadikannya di detik yang sama. Sejak membaca tulisanmu tentang
menggapai mimpi, aku tidak lagi mendiamkan angan. Mengenalmu membuatku melihat
takdir sebagai anugerah.
Kita berpapasan kembali
dalam nuansa yang berbeda. Aku bukan lagi aku yang tak ingin menyapa. Ada rindu
yang telah lama menyelinap di sela denyut tak henti. Aku telah berdoa sekian
lama agar sanggup berucap kepada lelaki yang membuatku rajin tersenyum tanpa
alasan.
Ingin aku menghentikan
langkahmu dengan mengungkap hati yang penuh relief hurufmu. Tak seperti
rencana, di depanmu semua kata memudar. Kekuatan yang ku susun berbulan-bulan runtuh begitu saja. Memandangi punggungmu yang berlalu, jantungku kebas
menahan kaki agar tak tiba-tiba berlarian ke arahmu. Bahkan saat tak berani
berterus terang, aku tidak bisa membenci diriku sendiri. Aku gembira menatapmu
kembali meski kali ini kau tak lagi mengenaliku.
Hanya saja jika ini
kebetulan yang lain, mengapa waktu tak berjalan sangat lambat?
Bisakah kau membaca hatiku
meskipun aku terdiam? Aku memendam perasaan yang sakral untuk sekadar
diucapkan. Aku menyimpan asa menjadi penduduk duniamu. Dalam duniamu yang lugu,
adakah aku?
Pernahkah kalian jatuh
hati pada seseorang yang setiap detailnya begitu memesona? Pernahkah kalian
merasa tulisan seseorang terasa seperti mantra-mantra yang magis? Pernahkah
kalian jatuh hati sedemikian hebat hingga kehilangan semua kata di hadapnya?
Pernahkah kalian merasa seseorang membuat hari begitu bahagia apapun yang
terjadi?
Pernahkah kalian jatuh
hati tanpa lara sedikit pun di dalamnya?
Karena bagiku takdir
merahasiakan perasaan terasa sungguh adil. Seadil ketika nada mengabdikan diri
dalam melodi, bahkan mungkin sampai kapan pun, aku tetap bertapa dalam duniamu
yang lugu.
Aku tak pernah ragu untuk tetap baik-baik saja jatuh hati
pada seseorang yang tidak mengenalku. Tetaplah menulis sehingga aku bisa terus
melihat sinarmu. Dengan begitu jalan di depanku tetap benderang. Dan
tulisan-tulisanmu yang ku kutip di dinding ruangku telah menguatkan setiap
langkahku.
"Setiap
orang memiliki dunia yang menjadi hak milik seutuhnya. Setiap orang
memiliki dunia di mana dia tidak sedikit pun tersesat dalam raga yang lain.
Setiap orang punya dunia di mana tidak seorang pun mengganggu. Tulisan adalah
duniaku."
Aku juga punya dunia
di mana tidak seorangpun menganggu. Kau adalah duniaku.
0 Comments:
Post a Comment