REFRAKSI
- August 20, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Seperti namamu,
warnamu begitu binar. Pancarmu adalah resonansi sinar yang melulu luput
berpulang. Kerap batinku berdarah menahan
laju biasmu. Aku harus pula tergesa menyangkal semarak tatap mata
sendumu berbinar-binar di hadapnya. Caramu mengalihkan bola mata ke arahnya seperti gerak
ombak pagi kala mentari terlelap. Caramu terdiam saat sinarnya berpendaran, caramu
tertunduk menyangkar senyum karenanya. Lalu rindu yang ku bungkus berceceran di
halaman.
Aku kesal melihatmu
diam-diam menyinarinya. Aku kecewa kau mengendap-endap di sudut batin membiarkanku
sempurna berputus asa. Tak henti kau membuat setiap helaan napasku berwarna kelam. Namun, tak satupun membuatku lebih kesal ketimbang perempuan yang
tak jua menyadari sinar yang tak
terbagi bersimpuh di hadapnya. Saat aku berdoa gelombang
cahayamu merambat ke arahku, dia justru sibuk memantulkanmu.
Segenap partikel keberanianku meluruh tanpa sanggup membenci. Sinarnya
laksana kutub bagi sinarmu. Kini, aku
tak bisa membencimu yang memilih lajur benderang. Membenci radiasinya terhadapmu juga terasa
begitu kekanak-kanakan.
Setiap orang
berlalu-lalang melewati dinding hati tetapi kau mencangkulnya dan berkebun di sana. Tiada
yang bisa ku lakukan kecuali menahan laju ranting-ranting bertumbuh. Sementara itu kau
membentengi rantingku tak berlompatan ke arah
datangnya cahayamu. Kau mungkin tidak pernah sadar perlakuan sinarmu padaku.
Namun, semua
masih adil bagiku. Aku mencintaimu dengan perasaan tak ingin memiliki. Aku tahu aku tak cukup baik bagimu. Secepat
laju partikel di ruang cahaya, aku akan pergi dalam keputusasaan
yang ku anggap pantas.
Mencintaimu
sulit ditafsirkan sebagai bukan menyerah. Bahkan di saat aku mendekap perasaan
tak ingin memiliki, aku masih terkungkung lara karenamu. Aku tahu kelak aku
akan baik-baik saja berdiri dalam
jangkauan sinar yang berbeda. Hanya saja, apakah kelak yang ku dekap akan berujung?
Lalu hanya
inilah yang aku lakukan: aku begitu ingin menyeberangkan sinarmu ke duniaku meski
dalam imaji saja.
(Pembiasan adalah satu-satunya cara kau berbelok arah kepadaku. Tetapi kau
juga tahu, meskipun pembiasan itu ada, pembiasan hanya terjadi pada medium yang
berbeda. Sementara kita menghirup udara yang sama.)
--------------------------------------
image source: here
0 Comments:
Post a Comment