GUGUR
- September 08, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
In the Northen hemisphere, the beginning of the meteorogical autumn is on the 1st September. (Wikipedia)
Pagi hari di
bulan September adalah pagi di mana aku enggan terbangun dan kembali memikirkan
musim gugur. Kelopak-kelopak mawar runtuh karena
lelah bertahan menjulang. Di musim ini duri-duri yang terbiasa
bersembunyi menyembul. Badai yang menggulung lembar
dedaunan bergemerisik mengusik. Jendela kamar terbuka lebar tetapi ruangan ini tetap terasa gelap. Matahari mengintip lembar-lembar rahasia di sela
jemariku. Rupanya aku belum lelah memastikan huruf-huruf dengan pena hitamnya,
berharap badai turut menghalaunya lenyap dari kertas ini.
Pesan
perpisahan yang dia tulis di bulan Agustus baru disampaikan
September ini. Dia berbalik pergi sembari menghapus setiap jejak langkah
kedatangannya. Kaki gemetaran menahan kehendak berlari sekencang mungkin menahannya. Saat
ini, berada di titik terjauh darinya adalah perintah batin. Kehilangan dia
membuat semua musim seolah tak berkawan denganku. Tanpanya, September seperti
kehilangan batu safir yang menjadi penanda. Dan durasi hari di bulan September
yang seharusnya lebih singkat berubah terlampau bertele-tele.
Perpisahan
seperti tidak pernah direncanakannya, sebelum akhirnya aku melihat dia menulis
puisi untuk seseorang yang lahir di bulan lain. Pemilik mata indah, hati ramah,
dan pribadi yang menjadi rumah bagiku itu dulu mengubah semua musim menjadi
semi. Tak seorang pun pernah mendikte jalan untuk pergi dari rumah. Tiada
satu pun mengajariku tak kehilangan senyum saat terusir dari rumah. Bagaimana
aku harus mengendapkan perih mendengarnya berganti rasa--aku tak pernah tahu.
Genderang hati berteriak keras memanggilnya sementara dia berjalan menjauh
sembari menutup telinga. Aku marah dan kesal tetapi air mata malu
menemuinya.
Mungkin
dia tidak bisa lagi memilih seseorang yang lahir di September.
September
ini, selain daun-daun itu, hatiku juga jatuh berguguran. Pohon-pohon gersang menolak menemaniku terjaga. Angin mengarak daun-daun itu
berpindah, batinku saja tak turut bergerak.
Sedikit
lagi, aku akan bergerak bersama daun kecoklatan itu dari pelataran hatimu.
Bersabarlah sebentar, aku perlu menunggu angin yang tepat menerbangkanku. Maafkan batin yang terus menunda pergi meskipun tahu
bahwa dia menghapus September dari kalender. Izinkan aku berpijak sejenak
saja. September belum juga usai.
Meskipun
aku tidak pernah yakin untuk membakar sajak-sajaknya bersama daun-daun kering
itu, percayalah aku tidak akan terhapus sepihak. Aku juga akan menghapusnya.
Aku akan berhenti mencarinya setelah September ini. Aku akan berhenti
menunggunya mengirim larik puisi sehabis September ini.
Beri
aku waktu, September saja.
_________________________________________________________________
image source: here
image source: here
0 Comments:
Post a Comment