-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

23 Sept 2013

JARAK 2

  • September 23, 2013
  • by Nur Imroatun Sholihat
Kau telah selesai berkemas-kemas. Aku melihat sayap di punggungmu membentang. Ku dengar suara khas langkah kakimu yang sebentar lagi tak berpijak di sini. Di hari keberangkatanmu, aku masih mendengar dan melihat walaupun telah menutup telinga dan memejamkan mata. Aku tak lapar meskipun telah begitu lama tidak makan. Aku tak tertidur sekalipun telah terjaga beberapa malam ini. Aku takut saat aku terlelap, engkau menghilang. Kini aku menentang waktu agar tak berjalan maju. Dan kau tak sekalipun berucap selamat tinggal.



Aku tak tahu mana yang lebih luka, kau berucap perpisahan atau pergi begitu saja. Aku tak mengenal luka yang melebihi luka yang akan jarak bentangkan di antara kita. Aku tak lagi bisa merasa pedih sesudah perpisahan yang telah dua kali kau ucapkan. Semenjak hatimu berpaling, keberadaanmu dalam jangkauan mata adalah penahan luka. Kini jarak setengah bumi adalah benteng yang menghalangi pandangan mata yang terbiasa mencarimu. Dengan apa aku harus menahan laju kepak sayapmu?

Perpisahan yang kau ucap minggu lalu adalah saat pertama kau melihatku meneteskan air mata setelah perpisahan hati kita. Selama ini aku tak menangis karena kau dengan tenang mendatangiku saat beban batin tak teratasi. Kau tiba-tiba muncul menghampiriku saat hati memanggil. Kau masih berbelas kasihan pada hati yang terus bersembunyi semenjak perpisahan itu. Tetapi minggu lalu, sekalipun kau datang untuk meredakan lara yang jarak tancapkan, aku masih menangis.

Kau sungguh pergi diam-diam dan menghilang begitu saja. Tak ada sedikitpun pesan yang kau titipkan untukku. Kau seperti biasa mengerti dengan tepat suara batinku. Aku tak ingin mendengarmu pamit meninggalkanku. Aku tak ingin kau melihatku menahan air mata hingga mataku begitu perih. Aku tak ingin kau tahu seberapa besar keinginanku agar kau tetap tinggal.

Sungguh aku tak ingin menyulitkanku lebih banyak lagi. Seharusnya ketika kau memintaku berpura-pura berucap perpisahan, aku bisa melawan hati yang menolaknya. Meskipun selamat tinggal tidaklah sesederhana yang terlihat, setidaknya aku bisa memaksa diri berujar. Karena aku kehilangan arah tanpamu, aku ingin terus bersembunyi —aku bahkan tak bisa berpura-pura. Haruskah aku berucap selamat tinggal pada perpisahan yang tidak ku setujui?

Bulan tidak pernah berdiam tepat di atas kepala. Itu semua masih adil ketika bulan tidaklah menerangi jalanan di depan sana. Pada kenyataannya, kau--seperti bulan itu, bersinar benderang tanpa pernah berniat melakukannya.

Jika saja batin tak mendefinisikanmu sebagai satu-satunya cahaya, aku tak ingin terus mencarimu.
_____________
read also: Jarak
image souce: here

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE