JENDELA
- October 10, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Dari jendela yang sama, aku memutar ingatan hari lalu tatkala engkau
menyusuri taman di seberang jalan. Di semesta itu, pagi tersulap begitu
semarak. Siulanmu membuat burung-burung berlalu lalang di pusaran magnetmu. Kepakan sayap
yang terdengar seperti tepuk tangan. Kau melangkah tenang dan memanjakan dara
untuk tidak beralih. Sebagian dara bertengger di dahan pohon di ketinggian sana. Polah
anak-anak kecil yang membuatmu tertawa riang. Pohon yang dahannya riang
menyambutmu, daun yang berebut ingin kau petik. Kau masih bernyanyi pada gemericikan tangga
nada air itu. Parade roda-roda yang berputar seperti melambat di sekelilingmu. Tanganmu menebar butir jagung, kemudian dara berhamburan mendekatimu. Rumput-rumput
yang berbaur rasa iri pada binarmu. Kakimu berlarian kecil dan meredam
peluh. Napas tersengal-sengal yang kau lempar bersama senyuman. Sulit ku
tafsirkan, kau membiarkan semesta mengilaukanmu.
Pagi dalam jendela ini adalah masa yang ku rindukan sejak malam
tiba. Aku kehilangan rasa lelah dan kantuk untuk sekadar melihatmu mengitari
taman seberang keesokan harinya. Untuk sesuatu yang ku yakini tak akan pernah
menoleh ke arah ini. Untuk sesuatu yang bahkan tidak mengenal namaku. Untuk
lilin yang kau nyalakan dari luar jendela kamarku. Untuk wajah bercahaya ketika membaca pesan seseorang yang
menyembul di layar. Untuk hati yang entah siapa
pemiliknya. Pagi ini, mengapa derap
larimu tak terdengar? Sekalipun melihatmu setiap hari membuat hatiku makin
lebur, aku masih menanti di balik jendela.
Asalkan itu untukmu, aku tak pernah menyesal patah hati.
_________
image source: here
0 Comments:
Post a Comment