(UNSENT MAIL) TO YOU
- October 31, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Hai, apakah
kau baik-baik saja?
Hari ini aku
sedang membuka satu-persatu email yang masuk. Pekerjaan seperti hendak
mencekikku. Ku abaikan semua pesan dan mengalihkan pilihan untuk mengetik
sebuah email. Aku menulis dan menyimpan lagi surat untukmu. Hujan yang membentur
pelataran gedung ini seolah juga menghantam lantai hatiku. Aroma air hujan serasa
pisau tajam. Maaf, surat yang kesekian kali ini tak jua bisa ku kirim. Biarlah aku menggenggam rahasia ini sendiri,
bahkan darimu.
Hujan masih sama
seperti waktu kita bersama. Embun yang menyelaputi dinding kaca tempat kau
menulis mimpi di masa lalu masih sama. Aku selalu ingat caramu menggoreskan mimpimu
di embun dengan jemari. Semua tentang hujan masih saja sama kecuali fakta bahwa
aku kini tidak lagi takut pada hujan. Pada akhirnya aku sadar seleramu telah
mempengaruhi seleraku. Saat tak lagi menemani kesabaranmu menunggu hujan, diam-diam hatiku mulai lupa hujan
pernah ku hindari.
Ketika kau pergi
dan memutuskan tidak kembali--seperti aku kehilangan ketakutan terhadap hujan,
mendadak aku juga kehilangan keberanian menatap tegak dunia seperti
dulu. Aku khawatir untuk mengatakan bahwa kini aku adalah seseorang yang
membiarkan ide terduduk santai di pikiran dan tertunduk membisu saat tidak
setuju. Sepertinya harus ku katakan bahwa kepergianmu terlalu banyak mengubah
hidupku.
Di detik aku menulis
pesan ini, bersautan gelak riang di sekelilingku. Semua orang berlalu lalang
mengejar masa depan, membiarkanku terperangkap dalam pekerjaan yang tak kunjung
selesai. Ataukah di sini semua mimpiku harus berakhir? Aku mulai bosan dan
berharap bisa mendengar pendapatmu tentang lelahku. Lagi, mungkin keluhan bisa
membuatmu tak percaya aku yang menulis surat ini.
Pernahkah aku berkeluh kesah di hadapanmu? Seingatku bahkan bertahun-tahun kita
bersama aku tidak pernah bermuram durja di depanmu. Kau selalu dengan ajaibnya
menghentikan upayaku untuk mengeluh. Kau melarangku untuk menggerutu dan mengembalikan
perhatianku pada warna terang kehidupan.
Bukankah
sebelumnya aku juga tak pernah menangis di depanmu? Kau selalu menawarkan
ribuan alasan untuk menahan air mata.
“Langit aja yang
boleh sering nangis.” Kau menunjuk ke arah hujan yang mengepung kita di kampus.
“Kamu jangan” Kau melempar senyuman sederhana yang terasa melegakan. Senyum
tiga detik itu mempertunjukan betapa kayanya hatimu akan kebijaksanaan. Maka
aku tak bisa menangis saat denganmu.
Kau hendak
menikah, begitu kabar yang ku dengar darimu. Aku tahu suatu saat kau pasti akan
benar-benar meninggalkanku. Namun, mengapa tak nanti saja? Kau menumbuk
hatiku yang remuk belum sempat tertata rapi melebur lebih hancur lagi.
“Perempuan seperti apa yang menarik hatimu?” Aku takut kau menerjemahkan pesan yang terselip dalam tanda tanyaku.
“Seseorang yang
sekalipun ribuan kesulitan datang padanya, dia tak retak”
Sekarang aku mengerti mengapa kau tak melihatku sebagai selain sahabat. Aku begitu mudak retak.
Tanpamu, aku bukanlah aku yang tak pernah mengeluh dan menangis. Ketika kau pergi, aku
menjadi retakan paling detail di dunia.
Aku
tidak ingin datang ke pernikahanmu. Di antara setumpuk surat tak terkirimkan aku pernah menyelipkan pesan untuk tidak ingin mendengar kabar bahagiamu
itu. Atau kau benar-benar ingin tahu bagaimana ekspresiku saat melihat wanita
itu? Jujur saja--jika aku
datang, itu akan menjadi saat pertama kau melihat air mataku.
Kau adalah seseorang
yang selalu secara tak sadar pertama kali ku hubungi ketika batinku pecah. Kini aku tak bisa menghubungimu lagi.
“Langit aja yang
boleh sering nangis. Kamu jangan.” kata-kata itu kembali berkeliling di otakku.
Hujan bergemuruh begitu riang bersautan menancapkan pisau di hatiku. Benarkah
aku tak boleh menangis bahkan saat mendengar rencana pernikahanmu?
Klik back-save as draft
Klik back-save as draft
______________________
Read also: (Still) To You
image source: http://us.123rf.com/
0 Comments:
Post a Comment