MINGGU PAGI
- March 23, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Sunday morning was the same until you left.
Minggu pagi selalu berarti menantimu
tiba di depan rumahku sembari mengibarkan senyum tenang itu. Karena senyum khas
milikmu, aku tak sabar menunggumu benar-benar berada di teras rumah. Sedari pagi aku merasa awan sangat putih dan langit begitu biru. Kakiku berjingkat gembira setiap kali masa ini tiba. Dan seperti pertama kali jatuh hati, aku membuatmu menunggu beberapa menit untuk
mempraktikkan bagaimana aku akan menyapamu.
Tak seperti biasanya, kali ini
matamu teramat binar. Kau beranjak dari kursi, menyapaku, tetapi tak kemudian melangkah. Kau
kembali duduk usai melihatku merapikan langkah agar tak tampak terlalu
girang. Bukankah seharusnya kita berjalan-jalan? Kau berujar kali ini ingin bercerita saja tentang seseorang yang selama
ini kau jaga dalam sanubari. Sejujurnya ku sangka kau telah menghapusnya dari pikiranmu setelah bertahun-tahun berlalu. Kau berpendar terang ketika berucap telah berhasil mengumpulkan segenap keberanian untuk
menghampirinya. Kau mengajakku berhenti bersama-sama di waktu yang paling ku tunggu dalam seminggu itu.
“Kita bisa tetap menjadi teman dekat
tanpa perlu berjalan-jalan bersama di minggu pagi bukan?”
Mengapa kau bisa tersenyum
sedemikian nyaman sementara jantungku tergesa-gesa memompa darah? Aku ingin tersenyum
mengangguk tetapi aku justru tertawa. Padahal tak satu pun lucu kecuali
hatiku yang tersedu di minggu pagi yang cerah. Bagaimana mungkin aku menangis
di waktu yang paling ku sukai. Mengapa pula aku harus berduka tatkala kau ada di depan
rumahku. Mengapa aku bersemangat memaksamu terburu-buru menemuinya sesaat setelah kau
mengubah minggu pagiku. Toh yang tergambar di wajahku adalah rona suka cita. Kau menjadikanku sukar menyeleraskan perasaan dengan ekspresi dan tindakan. Ku pastikan untukmu, aku akan mendengarkan cerita tentangnya dengan wajah senang. Aku meminta kebahagiaanmu ketimbang menyelamatkan batinku sendiri.
Hatiku, bersabarlah...
Minggu ini dan seterusnya, aku
akan meliburkan diri dari segalanya. Aku akan berdiam diri dalam kamar dan merangkum minggu pagi tanpamu. Sama seperti saat
ini, aku melawan kebencian pada minggu pagi. Minggu pagi selalu sama sampai
kau meninggalkanku. Dulu, mustahil minggu pagi berkisah air mata. Kini, aku takut kehilangan senyum di pagi itu. Minggu pagi seharusnya tak segetir ini, jika bukan karena kau.
-------------------
0 Comments:
Post a Comment