-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

15 May 2014

JALANAN

  • May 15, 2014
  • by Nur Imroatun Sholihat
Sorot bola matanya ke arahku girang. Bias matanya menyelam ke dalam hatiku lalu merobek dindingnya. Genggam kuat tangannya dilepasnya dari pundakku beriring langkahnya hilang dari pandangan. Bus yang ditumpanginya berlari menjauh. Tak sempat aku menceritakan pertahanan agar dia tak menyadari ketakutanku. Bahasanya kepadaku seperti sandi yang mustahil diterjemahkan. Seperti kini, dia mencabik pelan hatiku dengan tatapan gembiranya. Mengapa dia selalu begitu riang berperang dengan pemerintah?

Ku rahasiakan darinya selaksa kata yang berlarian hendak melompat dari pikiran. Di setiap harinya, terlampau banyak mozaik peristiwa tentangnya terpahat di batinku. Melihatnya melintas 2 detik membuatku sekuat tenaga bersikap biasa padahal tak putus tersenyum saat dia sudah berlalu. Dengan jejak dalam dia berlalu lalang begitu cepat dalam hidupku--membiarkanku terpaku menyaksikannya dari tepi arena. Mozaik kali ini adalah kepergiannya untuk rapat dengan mahasiswa lain di seluruh penjuru negeri.

Aku akan pulang secepatnya.Dia berteriak sembari berlari menuju bus itu.

Perempuan ini tersenyum seperti yang sudah-sudah. Aku tidak bisa berlaku apapun di depannya kecuali mencoba terlihat sewajarnya. Sedangkan lututku kehilangan tulang yang menyangganya. Bertahun-tahun lamanya aku berusaha menyembunyikan rasa yang meluap-luap karena dia. Menemani hari-harinya adalah cukup tanpa dia tahu rasa yang jauh lebih besar belum terucap.

Aku menanti kepulangannya sembari menyusun larik kata untuk mengutarakan perihku pada setiap langkahnya. Aku tak ingin menunggu setiap kepulangannya bersama awan kelabu melulu. Dia pasti akan mempertimbangkan pendapatku, katanya suatu waktu. Maka aku akan menggunakan kesempatan ini untuk menahannya berlarian ke sudut-sudut berduri itu.
***
Koran pagi ini terlempar ke teras rumah sebelum langit terang betul. Kantukku lenyap mendadak, mata sibuk memagar tangis. Sebelum membaca halaman lain, koran itu terpelanting. Gemetaran jemariku oleh ngilu yang menyerang sekujur tubuh. Ada lara menusuk-nusuk yang tidak bisa lagi ku tahan. Jantungku berdetak tak karuan. Perih menghujani dadaku dengan peluru api yang mendidih. Bukankah dia sudah pernah berkata padaku bahwa dia akan baik-baik sajaApakah aku yang terlalu yakin bahwa dia pasti pulang di setiap kepergiaannya? Di kertas yang mulai lusuh oleh air mata itu tertulis sangat jelas: Ruang Rapat Mahasiswa Indonesia Terbakar Habis.  

Aku menghitung air mata ayahnya yang di pagi buta ini menghampiriku. Sejak lama lelaki tua itu mengutuk jalanan. Suaranya selalu meninggi setiap kali anaknya hendak pergi dalam kegiatan yang disebut sang ayah sia-sia. Ayahnya mendendam kepada jalanan untuk alasan yang baru saja ku dengar sendiri.

“Kepalaku bocor saat tragedi reformasi. Bekas lukaku saja belum hilang, mengapa kini anakku menambah luka lain?” lelaki tua itu menunjukkan retakan yang tertutup rambutnya yang memutih.

Seketika aku menyadari sesuatu yang lebih sia-sia: perempuan yang tidak pernah berujar perasaannya dan berpura-pura mendukung setiap gerak lelaki yang dicintainya. Seseorang itu mulai mempertanyakan keputusan untuk bersembunyi dalam peran sahabat tepat setelah semuanya harus berakhir.

“Seharusnya aku lebih keras lagi mengajarkan anakku untuk percaya saja pada pemerintah” Lelaki itu menyeka air mata penyesalan mendalam. Tangannya yang lemah mengusap bekas jahitan di kepalanya. Peluru seperti bertubi-tubi menghujani dadaku.

“Seharusnya aku berterus-terang melarangnya pergi.” Kalimat ini terus berkelebat di otakku. Terbayang kembali hal yang selalu aku kerjakan: setiap ayahnya melarang, aku justru mendukungnya berangkat.

Lututku begitu lemas. Lenguhan suara kendaraan berlalu lalang menertawakanku. Aku menunggunya pulang karena aku ingin melarangnya pergi lagi. Aku masih menunggu hingga bus terakhir tiba--berharap dia turun menghampiriku. Bus terakhir tak luput menertawakankanku

Aku tak bisa marah pada bus-bus itu: sebenarnya perasaanku sendiri juga sedang menertawakanku dengan tawa yang paling keras.
--------------------------------
image source: here
read also: Elegi Jalanan
                 Elegi Jalanan (2)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE