KAU DULU, AKU SELALU
- October 25, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Kau berkata melupakan sesuatu
hanya sukar di muka tetapi seringan menerbangkan debu kemudian. Kau berujar
waktu akan menyembuhkan segalanya bahkan luka yang kukuh mengakar. Ini bukan
musim hujan tetapi darahku berguguran ke kaki. Musim bukanlah kemarau tetapi
tanah yang ku pijak terasa retak. Kau menepuk pundakku dan menjatuhkan buku di sela jemarimu.
“Kau bahkan belum juga paham
seleraku.” Suara buku yang lirih terpelanting ke tanah berdentum riuh di lantai
batinku. Debu bertaburan mengelilingi bahan bacaan itu. “Bukankah lebih baik
jika aku membuat sebanyak-banyaknya luka agar kau mudah menghapusku?” Tiba-tiba
terdengar suaramu lagi. Kau seperti tak tega pergi setelah satu kalimat saja. Kau belum juga berlalu seolah waktu berdiam diri.
Di antara sekian banyak hari, kau
meninggalkanku di hari aku menghadiahkan buku yang ku kira akan menggoreskan senyuman.
Ku pungut lagi buku itu dan ku tesuluri baris demi barisnya. Aku kesal kau
memutuskan membuang sebelum membacanya. Bagaimana
mungkin seseorang sepertimu memutuskan tidak menyukai buku ini bahkan saat saputnya belum
dibuka. Mungkin kau sedang silap hari ini, pikirku.
Aku mengulurkan buku itu lagi
kepadamu yang hari ini berpapasan denganku. Alismu terangkat dan senyummu
terpaksa tergelar. Tatapanmu menanyakan padaku apakah kau perlu membanting buku
itu di depanku saat ini juga. Aku seonggok kehampaan dengan wajah enggan
berputus asa.
“Dulu aku menyukai bacaan seperti
ini. Hanya dulu.” Kau hendak melempar
lagi buku ini ke tanah sebelum akhirnya mengurungkannya karena wajahku murung.
Sudut mataku hendak mengguyur pori-pori mukaku tetapi terbendung tinggi. Aku
masih berekspresi sama meskipun berniat untuk tak terlihat memohon dikasihi. Sekalipun menyangkal, aku menyadari betapa menyedihkannya aku kala ini.
Aku menunduk meskipun begitu
ingin menatapmu. Pertemuan sumir ini seperti melemparkan gundukan-gundukan
tanah menimbunku. Tanah tempatmu berdiri
tak retak sejengkal pun saat ku meronta-ronta terperosok. Kau tak akan paham
rasanya jika kau tak pernah menjadi aku. Kau tak akan pernah mengerti bahwa
kita berseberangan mengenai perpisahan. Aku definisi masa lalumu, kau definisi
masa hidupku. Aku bagimu adalah dulu, kau bagiku adalah selalu. Aku tahu melupakan sesuatu hanya sukar bagiku tetapi seringan menerbangkan debu bagimu.
Kau berbelas kasihan urung
membantingnya tetapi aku semakin remuk karenanya. Akhirnya buku itu kau jatuhkan
perlahan dan mataku menafsirkannya sebagai terpelanting dalam kecepatan cahaya.
Kau tak perlu khawatir. Bahkan saat kau
berusaha menoreh sebanyak-banyaknya luka, hatiku berpura-pura tak tercabik
olehnya.
Aku hanya tidak kuasa membenci sosok yang terdefinisikan sebagai masa hidupku.
---------------
image source: here
0 Comments:
Post a Comment