KARTU POS
- December 05, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Sepucuk kartu pos
tersenyum melayang ke arahku. Tak ada nama pengirim di sana tetapi aku telanjur hafal
wujud tulisan tanganmu. Seperti permadani terbang kartu itu melintas dan mengapungkanmu di hadapanku.
Bisakah kau berhenti membuatku berimajinasi kau tengah duduk di atas selembar kertas itu?
“Kau yang selalu
bertengkar dengan titik, tetaplah bertengkar. Dengan begitu kau akan senantiasa
menulis dan aku masih akan terus membaca.”
Di dunia yang
teramat luas ini, bagaimana mungkin aku membiarkan hanya ada satu orang mengetahui
perselisihanku dengan titik. Aku bahkan hampir lupa pernah berteriak keengganan berhenti
menulis. Aku berdoa tak pernah berpisah-- sangat
kekanak-kanakan aku begitu sampai pada kegemaranku itu. Dengan polosnya aku
pernah berujar bahwa aku hanya mengenal titik yang akan disambung huruf lain. Namun, bukankah kalimat itu telah berlalu begitu lama? Kini aku bahkan menertawakan
semangatku di masa lalu tersebut. Yang benar saja, kau masih mengingat itu?
Aku seharusnya
tergesa-gesa menulis jawaban atas pesanmu tetapi aku hanya membeku tersenyum. Aku tak tahu harus membalas dengan nada seperti
apa. Segala rupa kalimat yang hendak ku utarakan padamu melarikan diri saat
akan ku tuliskan. Kau telah menawan
semua kalimatku dan hanya menyisakan rasa yang tidak bisa dikalimatkan.
Sekalipun aku berusaha keras mendefinisikan nuansa batinku, kartu pos itu tetap
tanpa tulisan.
Rupa-rupanya ada yang tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa tulis: bagaimana setiap detail jiwaku dengan sendirinya memasangkan diri pada jiwamu. Aku tak perlu menceritakan apa pun karena sadar kau tahu isi pikiranku.
Aku masih terjebak rumitnya menjelaskan suasana ruang hatiku melalui
selembar kertas mungil bernama kartu pos. Percayalah kalau pesan singkat tak
pernah cukup--aku tak pandai menyederhanakan pemikiranku tentangmu. Lagipula baris-baris kalimat dalam otakku tak satu pun
memberanikan diri menemuimu. Kau semestinya sedang menertawakanku dengan tawa
yang membuat matamu melengkung bulan sabit. Kau pasti tengah diam-diam meledek betapa lemahnya
aku saat berdiri di hadapan pesonamu.
“You who love writing to death,
how dare you call yourself a writer when you sent blank postcards to me? :)”
Aku tak sedang kehilangan kesadaran ketika hatiku mengakui tiap-tiap sudut auramu. Tatkala kau menyapa dari kejauhan, aku merasa kau sedang berbisik di
sampingku. Saat kau menyemangatiku, aku berpikir bahwa aku
tak tergoyahkan. Alfabet-alfabet dalam kartu posmu bergandengan tangan untuk memelukku. Sama sepertimu yang menjaga mimpiku, aku ingin menjadi perempuan yang
melindungi mimpi-mimpimu. Lelaki yang menuliskan larik manis,“Impianmu tak pernah terlalu
besar.”, sampai jumpa di masa depan yang sedang kita dekati. Aku menjinjing kesabaran yang bergembira menanti
kala kita bersua kembali.
---------------------------------- image source: here
0 Comments:
Post a Comment