PURWOREJO, YOGYA, SOLO, DAN ANGGI
- January 07, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Purworejo
Saya mengenalnya tepat di hari
pertama saya memasuki masa SMA. Tak lama sejak pertemuan pertama, dia
resmi menjadi sahabat terbaik saya. Masa-masa saya mengukir mimpi meletakkan Anggi
di posisi yang tidak bisa digeser sama sekali. Ya, saya adalah seorang
perempuan kampung yang tidak punya keistimewaan apapun datang ke SMA untuk
mengubah nasib. Saya bermodal mimpi yang bisa dibilang kelewat tinggi. Hanya
dengan itu saya melangkah di setiap hari. Hanya dengan harapan mimpi akan
terwujud saya berlari meski halangan menghadang. Anggi menemani mimpi saya.
Saat belum mempunyai komputer,
saya harus menulis tangan tulisan saya dan pergi ke warnet yang menyediakan
jasa pengetikan. Setelah itu saya mencetak tulisan saya dan mengirimkannya ke
majalah. Tidak sedikit uang saya yang saya habiskan bukan untuk kebutuhan
sehari-hari melainkan untuk hobi saya ini. Saya menyisihkan uang untuk mimpi
yang belum pasti. Anggi kemudian menawari saya untuk mengetik di komputernya.
Dia adalah orang pertama yang percaya pada mimpi saya. Anggi menjadi pendukung
terbesar sejak saya bercerita keinginan saya menjadi penulis. Dia tak segan
mengantar saya ke kantor pos untuk mengirim naskah lomba. Pernah suatu masa
kami kehujanan saat hendak ke bank mentransfer uang pendaftaran lomba. Kami
berteduh di depan toko yang sudah tutup. Saya melihat Anggi basah kuyup. Ada
nyeri yang membuat saya bahkan tak menyadari saya juga basah kuyup. Saya tak
percaya ada manusia sebaik seseorang di samping saya ini. Dia masih tersenyum
seolah tidak terjadi apa-apa. (Saya tak bisa menahan air mata saya ketika
menuliskan bagian ini.)
Anggi tidak pernah putus asa
meskipun saya tidak pernah menang lomba. Dia masih menyemangati saya seperti
biasa. Dia tidak menyerah walaupun saya menyerah. Dia masih tersenyum dan meminta
saya bekerja lebih keras lagi. Sedari awal saya tak pernah ragu: Anggi adalah
salah satu bagian terbaik dalam hidup saya.
Suatu hari, saya dan Anggi sama-sama
menulis karya ilmiah untuk sebuah lomba. Akhirnya nasib mulai menyapa saya
dengan ramah. Saya masuk ke final. Sayangnya Anggi tidak. Saya merasa tidak
enak hati dan khawatir Anggi akan berubah karena hasil lomba itu. Tetapi Anggi
justru datang ke saya dan menawarkan diri untuk membuat slide powerpoint
presentasi tulisan saya (saya waktu itu belum terlalu akrab dengan powerpoint).
Anggi menemani saya selama latihan. Saya yang dulu tidak bisa berbicara di
depan umum dengan baik perlu berlatih begitu lama. Anggi masih di kursi
penonton dan menyimak latihan saya. Anggi menjadi operator powerpoint di hari presentasi saya (yang berarti di hari itu dia tidak masuk sekolah). Singkat cerita saya memenangkan lomba itu
dan berniat memberi hadiah kepada Anggi. Gadis berkacamata itu berkata, “uangnya
ditabung saja buat modal nulis kamu selanjutnya.”
Sejak mengenal Anggi, saya
berjanji untuk menjadi penulis besar suatu saat nanti. Saya akan bekerja lebih
keras lagi, Anggi.
YOGYA
Kami pun lulus SMA. Saya diterima
di HI UGM, jurusan dan kampus yang saya idam-idamkan sejak lama. Berbeda dari
saya yang sebelum lulus SMA sudah mendapat kampus, Anggi belum beruntung. Saya
telah mengucapkan selamat tinggal karena kami mungkin akan berbeda kota setelah
itu. Tak disangka Anggi kemudian diterima di Pendidikan TI UNY. Kami tinggal di kos yang
sama selama di Yogya. Namun, tidak butuh waktu lama untuk benar-benar memisahkan
kami. Saya ternyata diterima di STAN dan harus pindah ke Jakarta. Anggi
menyemangati saya untuk ke Jakarta walaupun saya tahu dalam hatinya ingin saya
tetap tinggal di Yogya.
Jujur saja, saya sangat mencintai
Yogya. Di kota inilah saya meraih piala di bidang kepenulisan untuk pertama
kali. Di kota ini, saya pernah setim bersama Anggi mempresentasikan karya
ilmiah untuk sebuah lomba. Kota ini adalah saksi perjuangan kami berdua setelah
Purworejo.
Selamat tinggal, Yogya. Saya,
gadis biasa yang berasal dari sebuah kampung kecil di Purworejo, pergi ke
Jakarta.
SOLO
Setelah saya lulus DIII STAN dan
bekerja di Jakarta, kesempatan untuk melanjutkan kuliah pun tiba. Beasiswa
untuk bersekolah kembali itu ada di kota Solo, kota tempat di mana Anggi
mengajar. Maka dengan semangat yang luar biasa tinggi saya mendaftar. Saya terharu melihat binar mata Anggi membayangkan saya akan tinggal di Solo. Dia mengurusi saya selama saya ada di Solo untuk ujian. Ternyata
jalan saya tak mulus. Saya justru jatuh sakit menjelang ujian dan di hari
ujian.
Pengumuman itu pun tiba. Saya
tidak diterima di kampus yang akhir-akhir ini selalu mengisi doa saya itu. Hati
saya benar-benar patah karenanya. Saya bergegas mengabarkan kepada Anggi bahwa
belum rezeki saya untuk bersekolah di Solo. Betapa terkejutnya saya atas
jawaban Anggi. Ada sesuatu yang membuat hati saya lebih patah: pernyataannya
bahwa hatinya lebih patah.
Anggi, saat ini saya kehilangan
semua rasa percaya diri. Segala mimpi yang saya bangun tinggi-tinggi mendadak
runtuh.
Anggi, maaf saya tidak bisa
menyusul ke Solo. Saya akan berusaha
lebih keras lagi mulai sekarang. Saya akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu yang selama ini menjadi kawan berlari saya. Doakan saya, Anggi. Saya juga akan selalu
mendoakan kebaikanmu dari kota tempat saya berdiri.
Anggi,
saya rindu masa-masa di mana kamu di samping saya dan memastikan langkah saya
menuju mimpi-mimpi saya.
-----------------------
-----------------------
(saya dan
sekotak tissue)
image source: here
image source: here
Terus semangat mbak..
ReplyDelete