-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

23 Apr 2015

KAFEIN

  • April 23, 2015
  • by Nur Imroatun Sholihat
Namamu bersinonim dengan kafein, bukan?

Kau menyapa pagi hari dengan sepucuk senyum manis yang membuat rasa kantukku lari terbirit-birit. Tawa malu-malu yang terlukis di wajahmu menyulap kakiku menjadi demikian ringan. Sah saja kau menolak disebut kafein meski hasil tes DNA sekalipun membuktikan hal sebaliknya. Kau tak tampak sebagai kopi tetapi tak lantas kau bukan kafein begitu saja. Kau mewujudkan diri dalam secangkir cokelat hangat yang harumnya menarikku dari kejauhan. Aku bahagia di balik secangkir cokelat hangat yang ku sesap perlahan. Rasa pahitmu tak seberapa sebab tenggelam di antara gundukan gula. Karena kadar yang rendah kau dengan bebas mengalir di darahku berbulan-bulan ini. Tak ada sedikit pun resistensi terhadapmu. Lama kelamaan aku menjadi toleran terhadap kafeinmu. Tak lagi menganggapmu asing—kau bagian dari darahku. Di awal persuaan kita, aku sungguh sulit tertidur karena kau mengajak detak jantungku berlari. Setelah kita berkawan karib, aku tak lagi sulit terlelap meski kau masih di tempat yang sama. Kau tetap tak mau mengaku dirimu kafein?

Ku lihat kau duduk santai di hadapanku. Aku tak lagi kehilangan kata seperti dahulu kala. Mungkin aku sudah terlalu nyaman bersamamu. Aku semakin terbiasa bersamamu walaupun perasaanku semakin tidak biasa. Kau semakin manis saja di setiap perjumpaan kita. Aku semakin menginginkanmu seolah kecanduan. Tak seorang pun pernah memberi tahu padaku bahwa perasaan semacam ini ada. Jatuh hati ternyata bisa terasa senyaman ini. Berbeda dari yang ku baca dalam cerita, aku menikmati waktu bersamamu dengan jantung yang dengan tenang memompa darah. Aku bisa dengan leluasa mengutarakan perasaanku dan begitu juga kau. Tidak butuh banyak waktu untuk kita saling mengerti jalan pikiran masing-masing. Biar pun merasakan pahitnya, aku selalu bersyukur manismu demikian jamak. Tak seperti kata bijak kita harus menerima kekurangan seseorang, aku menoleransinya. Semakin hari aku kian toleran dan kau dengan mudahnya menyatu dalam hariku. Seharusnya seseorang mengajariku cara berhadapan dengan seseorang sepertimu. Kau terlalu indah untuk tidak ditoleransi. 

Aku terbangun pagi ini seperti mencium harummu di meja kamarku. Lengkung matamu yang bak bulat sabit saat tersenyum tiba-tiba menyembul dari balik jendela. Ah bagaimana kau bisa membuat senyum khas milikmu itu tetap spesial di setiap kali aku menatap? Tunggu aku menemuimu pagi ini. Aku membawakanmu cokelat hangat dengan pesan yang tergantung di cangkirnya. Aku tahu kau akan menertawakanku dengan.... tawa yang begitu ku kenal tetapi tetap istimewa di setiap kali aku menjumpainya.

Mr. Caffeine, I don’t know love could be this simple. 
--------
(your name is synonymous to the word "caffeine")

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE