SINGGAH 5
- May 11, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Setahun berlalu
sejak aku terakhir kali berziarah ke tempat pembaringanmu. Ketika aku melintasi
kamar tempat dulu kau tertidur panjang, ada nyeri yang terlalu gelap untuk
disebut sebuah emosi. Aku tak tahu apakah aku sanggup singgah ke kamar itu seandainya pun kau masih di sana. Langit masih abu-abu hari ini. Dahan tua di samping kamar
itu menua. Aku masih membayangkan
keranjang pesanku utuh tergeletak di meja kamar itu. Semenjak kau terlelap teramat
nyenyak, aku gentar pada koridor panjang yang tengah ku lintasi ini. Aku takut
karena aku kembali bisa mendengar harapan, doa, tangis, dan kepasrahan yang
menggantung di langit-langit rumah sakit. Dalam ketiadaan derit napasmu, aku
bisa mendengar tangisku sendiri.
Aku datang ke sini dan disodori selembar kertas
dengan ukiran begitu jamak. Mataku
perih melihat kapsul beragam warna yang tampak hitam putih di tanganku. Kau masih ingat butir-butir
kapsul yang kekal bersemedi setinggi leher botol bukan? Apakah dulu kau begitu membencinya hingga tak menelan satu pun? Kau tak mengeluh tetapi mungkinkah kau tidak lelah pada jarum yang
terbaring di lenganmu? Kau selalu terlihat demikian tenang, apakah sesungguhnya
kau tak khawatir pada pisau-pisau itu?
Dulu aku tak
mengerti mengapa aku berhasrat memberi tahumu saat sedih maupun senang. Kau
adalah orang yang paling ingin ku kabari tentang keadaanku. Aku berusaha
mencari cara agar kau mengetahuinya secara tidak langsung. Kini aku mengerti bahwa aku begitu ingin kau menasihatiku tentang kesabaran.
Ketabahan yang kau jaga selama bertahun-tahun jauh lebih puitis ketimbang
puisi-puisi yang pernah ku dengar. Kedamaian
di rona wajahmu membuatku ingin kau saja yang mendengar ceritaku.
Dulu ketika aku
mendengar laramu dan kau masih tersenyum meminta temanmu mendoakanmu, dari
kejauhan aku berbisik
hendak menjawabmu. "Laramu tidak seberapa bukan?" Batinku kerap bertanya. Di hari-hariku aku selalu mendoakan kesehatanmu. Sebelum kau terbaring demikian lama, aku tidak pernah tahu bahwa senyummu sangat terang hingga mampu menyembunyikan duka. Di dalam hati aku mengagumi bagaimana kau terlihat
begitu tenang bersahabat dengan sesuatu yang diam-diam menggerogotimu.
“Bagaimana?" Teman dekatmu bertanya
“Doakan saja.”
“Selalu” Aku menunduk sembari berbisik
dalam hati.
Aku tak percaya bahwa dalam waktu yang begitu lama, aku tak pernah
mengatakan alasan aku tertambat padamu. Ada pesona yang begitu unik di dirimu. Kau bisa tampak begitu tenang dan bersemangat dalam waktu
bersamaan. Mata berbinar-binar dan senyum syahdu milikmu menghasilkan kontras
yang begitu indah. Saat kau seharunya rapuh, kau terlihat menyala dan saat kau semestinya takut, kau tampak terlampau tenang.
Sedari dulu, kau
adalah orang yang paling ingin ku hubungi saat aku sakit. Bahkan setelah kau
pergi, aku masih refleks menekan nomormu—deretan angka yang tak pernah berani
ku hubungi saat kau masih berdiri di atas bumi. Aku hanya tidak berkeinginan
mengabari selain mu.
Bukankah aku
telah membulatkan tekad untuk berucap selamat tinggal?
Hanya saja aku
masih memanggilmu meskipun aku tahu nomor di seberang sana tak lagi berpemilik.
------------------
(Man with half of calmness and half of passionateness)
image source: http://raun.deviantart.com/
Read also: Singgah
0 Comments:
Post a Comment