ENAM TAHUN (Bagian I)
- August 03, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Kau
mendengar rencana kepindahanku bukan?
Kini saat
aku tidak akan lagi berdiam pada kota yang sama denganmu, aku menyadari betapa
lamanya aku berdiam pada hati yang sama. Telah begitu lama aku seolah mendengar tawamu sepanjang waktu. Betul kita berada di kota yang sama tetapi kau tak sedang
dekat maupun berucap saat aku terus mendengar suaramu. Aku ingat ketika pertama
kali kau tak sengaja membaca namamu di buku catatanku lalu aku terdesak
mengakui perasaanku. Kejadian itu masih terasa memalukan bahkan setelah enam
tahun berlalu. Aku masih mengingat ketika terakhir kali kita berjumpa dan kau
tetap bersikap seolah aku tak pernah berucap apa-apa. Kau tahu perasaanku dan
menganggap seolah tidak terjadi apa pun.
“Anggap saja
aku tak mendengarnya.” Ujarmu setelah aku bersusah payah mengutarakan hatiku.
Aku tahu kau sedang menghiburku tetapi hatiku terasa amat pilu karenanya. Di atas keinginan untuk melipur laraku, kau sebenarnya masa bodoh terhadap perasaanku.
Kau telah
mendengar bahwa aku akan beralih ke kota lain. Aku tak tahu apa yang aku
harapkan darimu ketika kau mendengar kabar itu. Aku takut melihatmu berujar
selamat tinggal. Bahkan ucapan “Mari berjumpa lagi suatu saat nanti” akan
terasa seperti duri jika terucap darimu. “Apakah kau akan ada di antara
orang-orang yang mengantar kepergianku?” Pertanyaan itu terus bergelayut di
pikiranku ketika waktu perpisahan kian tak terhindarkan.
Kau pasti
datang dan berada di barisan belakang tanpa berujar sepatah kata pun. Kau tidak
akan melakukan sesuatu pun kecuali sekadar berada di tempat perpisahan. Aku tahu kau
hanya akan melambaikan tangan bersama yang lain karena merasa tak
enak jika tidak ikut melambaikan tangan. Hatimu mungkin menari mengetahui kau tak perlu lagi menghindari waktu yang kadang memperjumpakan kita.
Aku akan
senang kendati kau hanya berdiri bersandar di dinding menunggu perpisahan
sungguh-sungguh tiba. Sederhana sekali bukan perasaanku kepadamu. Enam tahun
aku tidak sedikit pun memindahkan hati darimu karena keberadaanmu saja
membuatku bahagia. Tak perlu kau berkata selamat tinggal atau berbasa-basi
menyemangatiku—kau datang sebentar saja sudah cukup bagiku. Aku sendiri heran bagaimana perasaan semacam ini ada di dunia. Kau hidup di dalam tulisanku, di dalam pikiranku, meskipun mengabaikanku dalam kehidupan nyata.
Hari yang biru itu adalah hari ini. Detik-detik perpisahan akhirnya menampakkan diri.
----------
(to be continued)
(to be continued)
image source: uclafacultyassociation
0 Comments:
Post a Comment