GULA
- October 14, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Kau
dan aku tengah mewujudkan cita yang sama di daratan yang berbeda. Aku kini
tinggal di kotamu meski kau sedang tinggal di kota lain. Dulu aku tak mengerti
mengapa kau membanggakan betapa eratnya kota kecil ini memelukmu. Kau
berbahagia tumbuh di tanah tempat aku kini berdiri. Langit selalu mendung di
selain kota ini, ujarmu ketika kutanya mengapa berat bagimu pergi mengejar
mimpi ke kota lain. Kota yang kini kupijak tentu istimewa sebab kau menyebut
rumah hanya kepada kota ini.
Kau pulang
sejenak dan mengejutkanku dengan suara sapaan riangmu. Di pagi itu
kau mengajakku menelusuri setiap detail sudut kotamu. Asal kau tahu, apapun
yang berhubungan denganmu selalu tampak elok. Kau tak perlu berusaha
membuatku menyukai tempat ini, aku sudah jatuh hati begitu saja. Lelaki yang
membuatku merasa segenap ungkapan “jauh di mata dekat di hati” seolah ditujukan
hanya untukku, aku sudah berkawan dengan kotamu sejak kau memintanya pertama
kali.
Kau kemudian
mempraktikkan tarian khas daerah ini dengan gerakan yang sungguh kaku. Katakan
padaku bagian mana dari tarianmu yang tidak membuatku semakin menyukaimu juga
kotamu? Kau menuturkan kata-kata yang asing di telingaku dan definisinya. Aku
berpikir bahwa yang aku perlukan bukan pengetahuan atas bahasa ini tetapi
seseorang yang akan mengerling setiap aku tak paham bahasanya. Aku lebih
memilih tidak mengerti sehingga bisa melihatmu menertawai wajah meminta bantuan
terjemahan. Kau juga menuturkan perbedaan-perbedaan budaya lokal dibanding
dengan budaya yang akrab denganku sebelumnya. Aku yakin kau sebenarnya
mengkhawatirkanku di balik ketenangan itu.
Kita lalu
mengunjungi tempat makan favoritmu semenjak dulu. Aku kembali melihat senyummu setelah sekian lama tidak bertemu. Apakah
kau terlalu gembira kembali menyantap penganan yang kau sukai? Untung saja kau
tersenyum semanis itu hanya padaku. Bagaimana bila orang lain melihatnya dan
mengatakan gula tak lagi manis? Bagaimana kalau garam tak lagi berguna setelah
orang melihatmu? Sebab gula berubah menjadi garam dan kau adalah gulanya.
Aku dalam perjalanan pulang dari rumahmu sebab kedua orang tuamu memintaku untuk sering menemui mereka. Sendiri menyusuri Jalan Kartini malam ini membuatku mengerti di kota seperti apa kau dibesarkan.
Lampu-lampu jalanan yang berkilauan seolah mengingatkanku pada pijar hatimu. Di sepanjang Jalan Raden Intan dan Jalan Kartini yang sejajar membelah sang bumi Ruwa Jurai,
aku mengingat kembali penjelasanmu tentang sepasang jalan ini. Kau
pasti tak tahu betapa aku merasa beruntung tinggal di sini meski untuk
sementara waktu.
Kau tahu apa
yang tidak pernah aku temukan pada selainmu? Aku tidak akan pernah bersua
seseorang sepertimu sebab kau demikian unik. Kau yang sangat tenang dan
bijaksana itu terlihat begitu dewasa di depan semua orang tetapi tak segan
menari dengan gerakan jenaka di depanku. Kau yang berjiwa pemimpin tak malu
bercanda yang sungguh tidak lucu hanya kepadaku. Kau lelaki pemalu yang akan
memberanikan diri bernyanyi di depanku dengan lagu yang diakhiri sebelum kau
menyelesaikannya sebab kau kelewat malu mendengar suaramu sendiri. Bagaimana aku tidak merasa beruntung? Kau melakukan hal-hal yang tidak
kau lakukan di depan yang lain. Kau adalah lelaki yang pendiam tetapi begitu ribut meminta maaf apabila ada hal yang kau pikir tidak
menyenangkan hatiku. Jadi tolong jelaskan padaku bagaimana bisa aku tidak
menyebutmu lelaki terbaik yang pernah aku jumpai.
Kau boleh pergi
tetapi sering-seringlah kembali sebab aku ingin bercerita banyak hal kepadamu.
Di pagi kita menyusuri jalanan yang lengang, kau akhirnya berbicara dengan
bahasa daerahmu untuk pertama kalinya padaku. Seandainya mengerti, aku pasti segera menjawab pertanyaanmu itu.
“Niku haga mak ngehajjong jama nyak?” Kau
mengerling seperti biasanya kau saat aku tak paham maksud kalimatmu.
“Kamu ngomong
apa sih?”
Kau tertawa
hingga telingamu memerah.
“Nanti aja belajar bahasanya, siapa tahu jodohmu
bukan orang sini.” Kau meledekku kembali. Matamu menyipit seiring tawa girangmu.
“Cari tahu artinya geh. Kamu harus tahu.” Kau masih tertawa.
Aku tersenyum
sembari memunguti kepingan pertahananku yang berguguran sebab tak mampu menahan
pesonamu. Kau berbicara bahasa alien pun aku pasti akan berbahagia. Udara terasa begitu sejuk karena senyummu. Teh yang kusesap pagi ini terasa demikian
manis. Tenang. Ada sesuatu yang lebih tidak aku mengerti ketimbang definisi
kalimatmu: perasaanku yang bertumbuh semakin dalam di sepanjang waktu seolah
tak memiliki penghujung.
-----
(Bahasa Lampung) Niku haga mak ngehajjong jama nyak? = Kamu mau tidak menikah dengan saya?
(Bahasa Lampung) Geh = kata yang digunakan sebagai pelengkap dalam kalimat ajakan.
image source: belladivalifestyle.com
image source: belladivalifestyle.com
0 Comments:
Post a Comment