-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

30 Oct 2015

SEJINGGA LANGIT SENJA INI

  • October 30, 2015
  • by Nur Imroatun Sholihat
Aku tidak menomorsatukan langit biru sebab langit jinga lebih mengikat batinku. Aku suka suasana yang syahdu dan damai layaknya senja di pantai ini. Aku suka ketika ombak mendayu-dayu setelah begitu bersemangat sepanjang siang. Aku suka tatkala pasir tersisa hangat karena panasnya telah memudar seiring bergulirnya matahari ke barat. Aku suka saat kilau jingga menyentuh pipimu seolah ingin terlelap di wajahmu.

Aku suka kala kau tersenyum canggung sebab kita belum terlalu akrab tetapi entah mengapa kita berjalan menyusuri pantai bersama. Aku juga kehilangan kalimat di depanmu meskipun telah mempersiapkannya sepagian tadi. Kita sepakat bersua di sisi laut ini tanpa agenda apapun kecuali memandang jingga bentangan kain di atas sana serta alasan yang tidak aku mengerti. Aku hanya mengikuti arah ke mana hatiku ingin melangkah dan menyetujui ajakanmu begitu saja. Aku suka masa orang-orang bergegas pulang tetapi kita tak ingin pulang. Aku suka ketika tidak ada yang kita bicarakan tetapi kaki tidak hendak melangkah ke luar. Apakah kita sudah mengenal satu sama lain demikian baik sehingga merasa tidak perlu berkata-kata?

Aku bahagia bersua denganmu bagaikan kita telah begitu lama berkawan. Ketika berjumpa pandang, kita refleks tersenyum seolah ada hal yang hanya kita berdua yang tahu. Aku tak mampu menjabarkan mengapa hatiku merasa demikian lekat denganmu. Aku tahu kau juga merasa yang sama—senyummu bergandengan erat dengan batinku. Jantung tidak mendadak tergesa-gesa memompa darah. Wajah tidak memerah kecuali justru tersenyum kecil. Kenyataan bahwa kau seperti sahabat lama yang kebetulan datang kembali sungguh di luar nalar. Bagaimana mungkin aku seperti telah merindukanmu demikian panjang padahal jalan kita belum terlalu lama berpapasan. Ketika takdir dituliskan lima puluh ribu tahun sebelum bumi diciptakan, kurasa sejak itu kepadamu aku menetapi rasa yang sama.

Aku bagai bermimpi melihat jingga bersama dirimu. Aku bermimpi tetapi tidak tertidur sebab kau adalah mimpiku.

Aku suka kau dan ombak itu sama-sama malu-malu. Aku suka ketika bola matamu bergerak lambat ragu-ragu untuk menatap ke arahku dan memulai pembicaraan. Aku suka kenyataan bahwa kau memberi kepastian meski mendekat perlahan-lahan. Aku suka matahari yang seolah enggan bergantian dengan rembulan sore ini sebab kita masih saling mencari ucapan. Kita larut dalam keheningan seakan petang ini hanya bunyi alam yang boleh bersuara.

Dulu aku selalu berkhayal seseorang mengirimiku sepotong senja dari sebuah pantai seperti yang Seno Gumira Ajidarma tulis dalam cerpennya. Kini aku tahu sekalipun mengirimi sepotong senja terdengar begitu puitis—menatap langit senja di pantai bersamamu setara dengan mendengar ribuan puisi yang manis. Aku tidak berkhayal lagi—kau adalah khayalan yang melompat ke dunia nyata. Aku melihat cahaya jingga memantul dari kedua pipimu yang mengembang bersama senyummu. Ah, siapa butuh puisi ketika bisa melihat pijarmu bersama langit jingga. 
-------
“your face that I miss looks like sunset glow.” (Sunset Glow-Big Bang)
image source: freedwallpaper.com

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE