-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

10 Jan 2016

SEBELAS JANUARI

  • January 10, 2016
  • by Nur Imroatun Sholihat
Kau berjanji kembali tanggal sebelas bulan pertama tetapi sebelum hari itu tiba, aku tak sungguh yakin kau tidak sedang bergurau. Aku menghitung hari dalam kalender sebab khawatir tiba-tiba tanggal sebelas januari menghilang. Kau pergi begitu saja bahkan sebelum aku sempat memintamu berkata kau tidak akan ingkar janji. Masih dalam keherananku mengapa kau tergesa-gesa pergi, kau memintaku sama sekali tak menghubungimu selama kau tak di sini.

Januari ini rintik hujan kerap membawa kenangan tentang dirimu. Udara dingin yang menyentuh pipiku seakan sedang ikut menunggu kabar darimu. Kau selalu menolak payung jika gerimis belum menjelma hujan lebat. Aku masih saja mengikuti caramu yang romantis dalam memperlakukan gerimis. Beragam pertanyaan berlarian di kepalaku ketika musim yang kau sukai ini tiba. Hai lelaki penyabar, apa kabar? Bolehkah aku berkata rindu? Aku tidak pernah menyangka akan ada hari di mana aku terlampau ingin mendengar suaramu. Hai lelaki yang berhati lembut, kehadiranku akan dengan suka cita kusambut.

Hujan menggiring memori tentang tawa dan tangismu yang kesemuanya hanya membuatku semakin rindu. Aku jelas tak boleh merindukanmu sekerap ini sebab bisa-bisa aku menghabiskan jatah rindu yang ada di muka bumi. Namun, bagaimana bisa aku memanggil rasa ini dengan sebutan selain rindu. Kau adalah seseorang yang membuatku demikian betah dan nyaman bersamamu. Aku selalu merasa pulang ketika bersua denganmu. Di depanmu aku tidak takut bertingkah aneh sekalipun—kau hanya akan tertawa sembari memahamiku lebih dalam lagi.

Sebelas januari akhirnya melangkah dengan pelan di hadapanku.

“Selamat datang kembali,“ Aku mencoba setenang mungkin menyapamu meski ingin mengutarakan puluhan kalimat sekaligus.

“Terima kasih karena menungguku kembali.” Kau tersenyum lugu bak anak kecil yang pulang ke rumah seusai bermain.

Aku berbahagia kau menghargai setiap hal kecil yang aku lakukan.  Ah, kau tak seharusnya berterima kasih atas hal yang akan kulakukan secara otomatis. Sebab tidak menunggu ternyata tidaklah menyenangkan.

“Mengapa aku tidak boleh menghubungimu sama sekali?” Rasa penasaran mendesakku mempertanyakan hal ini.

“Agar rindu.” Kau berusaha selirih mungkin menjawab. Aku tahu kau berusaha keras merahasiakan rasa malu. “Aku khawatir kau tak merindu.” Kau masih terbata-bata. “Satu lagi, agar kau menemuiku dalam doamu.”

Aku masih saja harus menyembunyikan wajah setiap mendengar gula yang menyamar dalam ucapanmu. Aku seharusnya tidak terus tersipu-sipu setelah kita bertahun-tahun bersama tetapi memang demikian adanya. Bahkan setelah mencoba beragam hal manis, kau masih yang termanis. Kau kembali dengan kau yang lebih baik. Kau kembali bersama senyum yang keluar dari lautan madu. Bagaimana mungkin kau tak tahu bahwa rindu tak membutuhkan jarak untuk hadir? Bahkan saat kau ada di sampingku, aku sibuk menyangkal rindu. Sebab bersisian dan masih merindukan seharusnya tidak terjadi bukan? Aku menghalau rindu padamu bahkan ketika kau sedang menatapku. Jadi apa dasar asumsimu bahwa aku tak akan merindu kala kau jauh?

Kau menurunkan gitar di punggungmu lalu mulai memetik sepenggal irama yang dulu kerap kau nyanyikan untukku. Bila saja suaramu sumbang sekalipun, aku berbahagia atas usahamu. Kenyataannya, suaramu sungguh merdu. Kau yang tampak pendiam selalu berusaha menyenangkan hatiku dengan perbuatan-perbuatan kecil termasuk menyanyikan lagu yang kusukai. Andaikan ini mimpi mengapa aku belum jua terbangun. 

Kau kembali bersama hal-hal yang sedari dulu membuatku tak bisa memalingkan hatiku. Nama yang begitu menyenangkan untuk disebut, hati yang putih, penerimaan seutuhnya pada diriku, tatapan mata yang mampu menyelam hingga dasar batinku, pikir yang bijaksana, hingga doa-doa yang diam-diam dipanjatkan untukku. Segalanya tentangmu membuatku mendampingimu—tak terkecuali kekuranganmu. Hanya saja aku merasa tak perlu membahas kekuranganmu sebab penerimaanmu pada kekuranganku telah membuat hidupku demikian baik. Aku akan melakukan hal yang sama kepadamu.
-----
(I promised Rizky Wulandari I would write this story because our faves, Winner, is coming back.)
image source: icytales.com

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE