-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

28 May 2016

PASTEL TONED SKY

  • May 28, 2016
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART #4: THE DAZZLING DEARA
Bahkan dengan sekali melihat, siapa pun akan mengenali jurusannya. Sering kali tersampir tabung di bahunya, kadang kala terdapat maket di tangannya. Di tengah fakultas yang seolah dimiliki oleh kaum adam ini, Deara Klarina melangkah tenang. Tatapan matanya penuh percaya diri. Terpenting, di kampus kami, jurusannya populer karena prestasinya. Itulah sebabnya tak terlampau sulit membuat sang ketua HIMA terkenal seantero teknik. Deara adalah definisi pesona unik yang tak mudah diduplikasi. Kharisma dan tawa renyahnya. Ketegasan dan aura penyayangnya. Ketangguhan dan keanggunannya. Seharusnya seorang perempuan memilih salah satunya, bukan mengambil kedua sifat itu bersamaan.

“Kamu yang namanya Arda?” Deara menyapa lelaki dengan rambut sedikit berantakan yang sedang makan siang di kantin teknik. Arda mengangguk sembari mempersilakan gadis itu duduk di kursi yang kosong di depannya. “Aku Rara. Kamu ketua tim teknik mesin untuk FTN kan?” FTN yang dimaksud adalah Festival Teknik Nasional, sebuah kompetisi inovasi mahasiswa teknik se-Indonesia. Nada bicara Rara begitu tertata. Entah karena dia sudah terlalu sering memberikan sambutan atau karena apa.

“Kamu ketua tim apa?” Arda berbalik bertanya. “Arsi sih ya pasti.” Arda melirik tabung di punggung Rara.

“Tapi aku bukan delegasi arsi kok. Aku nggak sepinter itu untuk ikut lomba. Kebetulan hima arsitektur yang jadi koordinator keberangkatan delegasi kampus.” Rara yang baru saja terpilih menjadi ketua HIMA menjelaskan posisinya. “Anyway, how’s your team preparation?”

“So far, everything went well. Semoga kali ini seenggaknya masuk 10 besar.”

“Pihak dekanat bilang, arsi dan mesin jadi andalan delegasi kita. Jadi semoga saja kalian juga bisa memberikan yang terbaik. Aku duluan ya mau ke studio.” Studio yang dimaksud adalah ruangan studio gambar jurusan arsitektur. Rara berdiri dari tempat duduknya sebelum kemudian menghentikan langkahnya. Hampir saja dia lupa tujuan awalnya menemui Arda. “Oh ya, boleh aku minta kontak kamu untuk keperluan koordinasi?”

Tak seorang pun tahu pasti sejak kapan mereka berdua memutuskan untuk saling menyemangati. Keduanya jarang terlihat bersama dan memang sepakat untuk tidak memperlihatkan hubungan mereka. Arda hanya sesekali datang di acara hima arsitektur dan terkadang Rara terlihat di laboratorium mesin. Meski demikian, tak butuh waktu lama bagi siapa pun untuk menyetujui betapa kompaknya mereka menguatkan satu sama lain.
***
“Tugasku banyak banget nih, Da. Begadangan terus berhari-hari ini.” Arda melihat lingkaran hitam mengelilingi mata Rara. Meskipun tampak lelah, Rara masih tersenyum seperti biasanya. “Masalah obrolan semalam, maaf ya.”

“Apa kamu baik-baik aja jadi sesibuk ini, Ra? Tugas kuliah, urusan HIMA, belum lagi njenguk aku yang kadang lupa keluar lab.” Arda yang pemalu itu selalu memberanikan diri menunjukkan perhatiannya kepada Rara. “Aku juga egois kok. Aku suka lupa ngabarin. Kadang juga lebih memilih pergi sama teman-teman mesin. Maaf.”

“Tapi karena kamunya juga sibuk aku jadi nggak khawatir. Kita jadi nggak saling mengabaikan satu sama lain. Ya kita emang sama-sama sibuk.”

“Atau justru seharusnya sangat khawatir?” Arda menatap tangannya yang berlumuran oli. “Kita saling menghubungi dalam keadaan letih. Akhirnya kita cuma saling membebani pikiran masing-masing.”

“Kamu lagi capek ya? Atau sebenarnya kamu marah?” Rara mengusap lengan Arda. Suaranya teramat lirih.

“Jangan, Ra. Kemejaku kotor. Nanti tanganmu kena oli.” Dia melepaskan tangan Rara dari lengannya. “Kertas gambarmu gimana kalau tanganmu kotor.” Bekas tangan Arda membekas di pergelangan tangan Deara. Hitam.

"Maaf ya. Bahkan untuk menghindarkanmu dari kotor, aku harus tetap membuat tanganmu kotor."

Kali ini giliran Rara yang menatap tangannya. Ada air menggenangi bola mata Rara. Wajah Arda yang lusuh hari itu bertambah muram. Mata bulat Arda memerah seolah duka di dalam dadanya begitu menyakiti.

“Apa aku pernah mengeluh kalau tanganku kotor, Da?” Air mata perlahan menyusuri pipinya. “Aku nggak akan mengeluh kalau dalam mendukungmu aku harus ikut mandi oli sekalipun.”

Napas Arda terdengar berat. Dia tak berani menatap lurus sebab dia selalu saja lemah melihat Rara menangis.

“Tetapi kamu aja terlalu lelah untuk mendukung diri sendiri, Ra. Aku bingung terus-menerus melihat betapa beratnya hidupmu sementara aku nggak bisa meringankannya sedikit pun. Pasti kamu juga benci kan pada kenyataan ngliat hidupku tetapi kamu nggak bisa mendukung dengan semestinya.” Arda memelankan nada bicaranya. “Aku harus ngrakit lagi, Deara.” Ada jeda sebelum dia menyebut nama perempuan di depannya itu.

“Jangan panggil aku Deara, Da.” Deara mengusap pipinya yang basah.

Deara pernah berkata pada Arda bahwa hanya orang-orang yang asing terhadapnya saja yang memanggilnya ‘Deara’. Semua orang yang dekat dengannya pasti memanggilnya ‘Rara’.

“Semoga kamu menjadi arsitek yang hebat, Deara.” Arda berlalu dari hadapan Deara. Air mata yang sedari tadi ditahannya mengalir perlahan.
***
“Sebenernya kami udah putus dari beberapa waktu yang lalu kok.” Arda seolah baru saja mengendap masuk ke dalam otakku dan membaca tanda tanyaku.  “Tapi kami tetap saling ngobrol sesekali.”

“Tapi kenapa? Kalian kan cocok banget.”

Arda tersenyum melirikku. “Apa kamu kenal kami sampai bisa bilang kami cocok banget?” Arda mengubah ponselnya menjadi mode silent kemudian menyimpannya dalam saku.

Yang benar saja dia tak merasa bahwa ketika mereka bersama, bahkan mungkin waktu menjelma gula. Mereka pasti terlihat serasi bersisihan sekalipun yang mereka lakukan hanyalah terdiam berdiri berdekatan. Aku mendengar teman-temanku berkeinginan memiliki hubungan seperti mereka berdua. Aku bisa membayangkan senyum Arda ketika melihat Deara dan sebaliknya. They must looked good together.

”Mataku nerasa paling nyaman melihat langit seperti ini.” Arda masih menunjuk ke arah langit sehabis hujan. Dia tertawa setelah kembali melemparkan lelucon anehku ‘nerasa’. 
****
“Oh ya, aku ingin membaca diary saat kita bertemu pertama kali.” Arda melompati setumpuk halaman untuk akhirnya menemukan tanggal ini. Aku menyebut nama Rara di catatan hari itu.

“Kamu boleh nggak jawab pertanyaan ini. Tapi kenapa kamu pisah sama Rara?” Aku bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Aku melihat bola mata Arda bergerak melambat. Dia terlihat tenang seolah tidak mendengarku sama sekali.

“Melihatnya dari jarak sangat dekat tidaklah menyenangkan seperti yang kamu bayangkan, Nera.”

Aku menunggu Arda melanjutkan jawabannya.

“Deara itu seperti cahaya teramat terang di dalam ruangan kecilku.” Analogi yang baru saja aku dengar seperti sebuah frasa yang telah dipikirkannya sejak lama. “Ada cahaya lain yang lebih menyejukkan mata. I found it one day, when the sky was pastel coloured.” Dia memulai ceritanya bahkan sebelum aku setuju untuk mendengarkan.
-----
image source: pinterest.com

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE