PASTEL TONED SKY
- June 10, 2016
- by Nur Imroatun Sholihat
PART #6: THE DAY WE FOUND OUR LITTLE WORLD
“Ingat hari pertama kita bertemu?” Arda tidak melanjutkan kalimatnya sebelum aku mengangguk. Dia
mengganti topik begitu saja padahal kami belum selesai membahas komentar
teman-teman kami mengenai kebersamaan kami di tengah perseteruan fakultas teknik
dan ekonomi. “I had a phone call and I kept smiling not because it was Deara on
the conversation, but because a simple joke from a girl I just met.”
Arda
menceritakan hari pertama kami bertemu setelah setahun mengarungi beragam kisah
bersama.
“Saat itu,
berbulan-bulan aku sulit sekali tersenyum hingga candaanmu yang aneh itu pun
bisa menghiburku. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan berjodoh dengan
seseorang yang mengenalkan dirinya dengan lelucon yang…” Arda berhenti. Dia
pasti sedang memilih kata yang tepat. “tidak lucu?” Dia seolah bertanya apakah
aku setuju dengan pilihan katanya. Aku menyembunyikan wajahku sebab menahan
tawa. Dia mengusap-usap kepalaku.
“Kamu mungkin
menganggap selama ini aku nggak tahu tetapi aku sadar kok kalau sedari awal
kamu berusaha membuat hatiku bahagia. Orang-orang teknik dianggap kuat tapi
mereka juga ingin seseorang yang tidak melihatnya sebagai orang yang selalu
baik-baik saja.” Dia tersenyum kecil. Kalimatnya menghipnotisku. Aku pun kehabisan
kata seolah Arda baru saja menguras semua bahasa yang ada di otakku.
“Kamu tahu? Ketenangan sikapmu selalu saja memesona. Saat kamu kesal pada sesuatu, kamu
nggak marah melainkan menangis. Aku nggak suka melihat perempuan menangis
tetapi kamu bikin aku sadar bahwa ada tangis yang menunjukkan kekuatan hati
pemiliknya. Setiap kali membaca tulisanmu, aku bisa merasakan kedalaman rasa dan
ketenanganmu dalam melakukan judgement.
Itulah mengapa tulisanmu enak dibaca. Aku juga ingin kamu bertanya tentang
Deara agar aku bisa menjelaskan bahwa meskipun aku ditanya puluhan kali, aku
akan tetap memilihmu. Tapi kamu justru terlihat nggak terusik dengan masa laluku.”
Aku masih bergeming. Sedari awal, aku memang tak pernah berniat untuk berselisih dengan Arda.
Aku percaya padanya dan menerima dia seutuhnya.
“Bagian terbaik
dari menjadi sahabat hidupmu adalah melihatmu tumbuh perlahan-lahan menjadi
semakin mengagumkan.” Arda tak pernah menyampaikan ini sebelumnya. “Dan bagian
terpentingnya adalah penerimaanmu terhadap diriku dan dorongan untuk menjadi lebih
baik dengan kadar yang pas. Aku merasa perlu berlari maju tetapi tak khawatir
jika dalam langkahku nanti, aku terjatuh.” Dia masih melanjutkan kata-katanya.
“Since I found
you, sky is always pastel coloured. While I could find women whom shining
brightly, you’re shining softly just like pastel colours. That’s why my eyes do
not get hurt.” Dia menghela napas perlahan.
Aku
mengusap-usap lingkaran di jari keempatku. Aku refleks melakukannya setiap kali
aku merasa terjatuh semakin dalam kepada Arda.
***
Ardana Kamajaya.
Dia suka memakai kaos dan kemeja lengan panjang kemudian menggulung lengan
bajunya hingga siku. Begitu juga dengan kaos abu-abu yang dikenakannya sore itu
ketika dia membongkar mesin traktor yang rusak milik salah satu warga. Dia
memutar-mutar obeng dengan jari-jarinya kemudian mendekat pada mesin dengan
langkah tenang. Dia berwajah sangat serius di depan mesin seolah hubungannya
dengan mesin memang selalu demikian penting.
Karena aku mudah
menghafal, aku ingat kapan pertama kalinya aku ingin sekali berada di
dekatnya. Aku ingin sekali mengatakan
kepadanya untuk menyalakan hatiku seperti dia menyalakan mesin yang dirakitnya.
Aku ingin bersamanya yang wajahnya terlihat berbinar meski tercoret-coret
pelumas yang telah menghitam. Aku menyebutnya sebagai momen kunci pas.
“Ner, tolong
ambilin kunci pas ya.“ Tangannya bersiap menerima alat yang baru saja
disebutnya.
Aku menatapnya
dengan pandangan “kamu yakin aku tahu alat yang kau maksud?”. Arda tersenyum
sebab aku tak kunjung mencari ke dalam tasnya. Dia menghampiriku lalu
menjelaskan satu per satu benda-benda yang ada di dalam tas tersebut. Dia
membuka satu kotak yang dijelaskannya sebagai beragam jenis kunci. Dia
mengambil kunci yang kedua ujungnya berbentuk seperti huruf U.
“Siapa tahu suamimu
nanti orang teknik mesin.” Arda bersendau gurau dengan wajah yang masih saja terpaku pada mesin.
“Amin.” Ucapku
dalam hati. Ini kali pertama aku sungguh-sungguh bertanya “Tuhan, aku harus
bagaimana?”. Sebab dia perlahan membuatku terjatuh semakin dalam ke dunia kecilnya. Sebab dia sepertinya tidak melihatku sebagai seseorang yang
mungkin bisa membuatnya jatuh hati. Sebab dia selalu saja bergurau di depanku
seolah tak membiarkanku berdiri sebagai seseorang yang diperhitungkannya secara serius.
Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan kepada orang ini.
“Balikin ke
kotaknya ya.” Dia mengulurkan kunci pas di tangannya. Aku bisa melihat sidik
jarinya membekas di pegangan kunci itu. “Nggak apa-apa ya tanganmu ikut kotor.”
Arda memastikan jawabanku sebelum kunci itu berpindah ke tanganku. Aku
mengangguk.
“Aku senang ada orang yang bantuin aku benerin
mesin. Apalagi dia merhatiin dengan penasaran kaya kamu sekarang ini.”
Aku tak
sungguh-sungguh penasaran pada bagaimana caranya memperbaiki mesin. Aku penasaran
pada bagaimana matanya berbinar melakukan keahliannya itu.
“Pasti nyenengin
ya nglakuin hal yang kita suka.” Sebagai seseorang yang salah jurusan, aku merasa harus mengatakan ini
“Pasti nyenengin
ya ada seseorang yang memberikan waktunya untuk mendukung kita nglakuin sesuatu
yang kita suka.” Dia membalasku. Aku menatap senyum di matanya. Aku sungguh tak
bisa mengendalikan perasaanku padanya.
“Langit masih berwarna
pastel.” Dia menunjuk ke atas. Mungkin dia berusaha mengalihkan aku dari
menatapnya terlalu lama.
Aku mendongakkan
kepala. Tetapi bagiku, dia telah menjadi atap dari dunia kecilku. Aku tidak
peduli apa pun musimnya dan apa pun warna langitnya, asal dia tersenyum seperti
saat dia melihat mesin, aku merasa beratapkan kebahagiaan.
“Kenapa kamu
nggak pernah tanya alasan aku suka langit berwarna lembut sih?”
“Apa aku perlu
tahu?” Aku pikir aku memang tak harus tahu semua hal apalagi hal sesepele
mengapa dia menyukai warna tertentu.
Dia tertawa
sembari menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya. Haruskah aku
penasaran mengapa dia tertawa? Aku menunggu tangannya berhenti menutup wajahnya
dan menebak arti tawanya.
Aku refleks
tertawa. Bukan karena mengerti apa yang dia maksud tetapi karena wajahnya yang
semula sudah kotor bertambah kotor tersentuh tangannya. Kali ini dia yang ganti
penasaran mengapa aku tertawa. Saat itu, kami saling menertawakan tanpa tahu
mengapa kami ditertawakan. Saat itu, aku tak tahu bahwa dua tahun kemudian aku
akan menjadi orang yang mengusap wajahnya dengan jari-jariku. Kini aku tak lagi
tertawa ketika melihat wajahnya yang belepotan itu. Aku hanya menatap lurus mata
bulatnya sembari tersenyum. Kini saat melihat wajahnya yang hampir tak pernah
bersih saat bekerja itu, terkadang aku mengusap lingkaran di jari keempat
tangan kananku.
(finish)
-----
image source: favim.com
0 Comments:
Post a Comment