SURAT UNTUK IBU
- December 22, 2017
- by Nur Imroatun Sholihat
source: hafizhphotostudio.blogspot.co.id |
Ibu, ada ribuan puisi dan lagu mengisahkanmu tentu bukan tanpa
sebab. Karena kau tidak habis diceritakan, buku-buku pun tidak akan pernah
tuntas mengujarkan. Lalu bagaimana aku harus menulis surat yang sesak oleh
rindu yang tertunduk sementara pujangga yang mahir berkata-kata saja seolah
tidak pernah belajar berbicara ketika diminta menceritakan tentangmu.
Dulu, aku tidak tahu bahwa cucuran keringat dan air matamu adalah
sepasang lengan yang mendorongku maju. Aku tidak juga tersadar keteguhan hatiku
selama ini tak lain sebab doa-doa panjangmu untuk kebaikanku. Keberanianku
melintasi kesulitan demi kesulitan sebab bibirmu tidak pernah berhenti memohon
kepada Tuhan. Di saat aku lupa mengakui perjuanganmu, kau justru lupa meminta
untuk dirimu sendiri. Agar apa? Agar harimu cukup untuk mendoakan segunung
mimpi-mimpiku.
Dan ketika aku bertanya mengapa kau menyibukkan hari dan hatimu
untukku, kau hanya tersenyum. Aku yakin kau tak tega menjawabku “Sebab
keinginanmu begitu banyak oleh karenanya Ibu harus banyak berdoa, Nak.”. Tetapi
Ibu, aku tahu itulah alasanmu yang sebenarnya. Aku bukan lagi anak kecil yang
tidak bisa membaca rahasia di balik senyum di wajahmu. Bahkan di saat engkau
tidak tega mengatakan apapun yang sekiranya akan menganggu pikiranku, aku
selalu menyibukkan pikiranmu dengan kegaduhan dan kekacauanku.
Jika ayah membanting tulang, kau membanting seluruh organ di
badanmu demi membesarkan dan memenuhi angan-anganku. Remuk jari-jari dan sendi-sendimu
tidak kau keluhkan sementara retaknya hatiku sedikit saja membuatmu
berkaca-kaca. Mengapa kau mendefinisikan kebahagianku adalah kebahagiaanmu? Mengapa
kau berkata bahwa impianmu adalah melihatku tumbuh sehat dan bahagia? Bagaimana
mungkin seorang manusia tidak memikirkan dirinya sendiri. Katakan padamu Bu,
bagaimana bisa seseorang demikian sabar dan ikhlas untuk menghadapi seseorang
yang sangat menyebalkan sepertiku?
Dulu aku lelah mendengar kau begitu sering menanyakan kabar,
menyuruhku makan, menyuruhku berhati-hati, menyuruhku beribadah, menyuruhku ini
itu. Kini aku tahu, bukan kau yang membutuhkan perbincangan ini tetapi aku. Senyummu
di layar ponselku, suaramu pengobat segala laraku. Aku butuh mendengar suaramu
satu detik lagi. Dan lagi. Tanyakan
padaku apakah aku sudah makan, apakah aku sudah tidak takut menyeberang jalan
lagi, tanyakan semuanya seremeh apapun dan sesering apapun, aku tidak akan
lelah mendengarnya.
Ibu, aku selalu merasa buruk ketika kau meminta maaf padaku atas
hal yang tidak berarti apa-apa. “Maaf tidak bisa membelikan ponsel yang bagus.”
“Maaf tidak bisa membelikan sepatu yang kau inginkan.” Aku tahu air mata yang
bersembunyi di balik kelopak matamu. Aku tahu tangis yang menunggu aku tertidur
untuk kau tumpahkan. Kau selalu meminta maaf tetapi jika berganti aku yang
memohon maaf, kau selalu berkata “Ibu sudah memaafkanmu”. Katakan padaku di
mana aku bisa bertemu seseorang yang tidak marah pada kecerobohan dan
kesalahanku kalau bukan kau?
Ibu, jangan berhenti menasihatiku sampai umur berapa pun aku
nanti. Aku akan kerap tersesat dan kehilangan arah tak peduli berapapun jumlah
hari yang sudah kulewati. Ibu kirimkan
aku doa-doa selalu. Aku juga tidak akan melewatkan doa tanpa menyebut namamu.
Ibu, berbahagialah. Jangan sakit dan jangan kehilangan senyuman.
Terima kasih Ibu, kau harus tahu desember adalah bulan yang serupa
denganmu. Seperti pelangi yang setia menunggu hujan reda di bulan desember1,
engkau begitu tabah. Terima kasih telah menjadi seseorang yang membuatku selalu
berkawan di tengah padang rintangan dan kepedihan.
Wajahmu kian berkerut dan mengeriput. Berapa banyak garis yang
disebabkan oleh kekhawatiran memikirkanku? Warna bola matamu yang perlahan
memudar, dengan apa aku bisa menahan laju masa yang suatu saat akan memisahkan?
------
1 Terinspirasi Lirik lagu Desember - Efek Rumah Kaca
(Dibacakan saat Peringatan Hari Ibu Inspektorat Jenderal Kemenkeu)
0 Comments:
Post a Comment