SCOLIOSIS STORIES (PART 1): SO I HAVE A MILD SCOLIOSIS
- March 01, 2018
- by Nur Imroatun Sholihat
source: thehumanist.com |
Beberapa tahun
belakangan ini, rasa pegal menetap di punggung saya. Sudah seharusnya bukan saya
membawanya ke dokter untuk mengetahui penyebab dan pengobatannya? Tetapi saya,
berkebalikan dari apa yang dilihat orang-orang, adalah seseorang yang kerap
takut menghadapi kenyataan. Dari waktu ke waktu, saya sering memilih untuk
tidak tahu—simply because I’m such a coward. Saya menyimpannya
sendirian, menahannya tatkala sakitnya mendera, dan berpura-pura baik-baik
saja. Sampai beberapa waktu yang lalu saya memutuskan bahwa saya harus
memeriksakan punggung ini. Butuh waktu cukup lama untuk akhirnya benar-benar
berangkat menemui dokter, itupun setelah beberapa sahabat dekat meyakinkan
saya. Sejujurnya firasat mengatakan saya menderita sebuah kelainan yang namanya
pertama kali saya dengar di bangku sekolah dasar: skoliosis (scoliosis).
Saya ingat sekali sejak mendengarnya saya berjanji untuk memakai tas punggung,
tas selainnya sesekali saja. Dengan usaha tersebut, saya berusaha mengingkari
kemungkinan skoliosis meskipun gejala-gejala yang ada mengindikasikanya. Dan
ketika hasil rontgen menyatakan skoliosis ringan, saya yang masih tampak ceria
di rumah sakit, termenung sepanjang perjalanan pulang menyadari bahwa saya
menderita sebuah kelainan yang selama ini sudah saya usahakan pencegahannya. The realisation hit me: sometimes you tried your best but
failed.
Yang
berlarian di pikiran saya selama perjalanan pulang adalah: “The good
news: It’s mild. The bad news: still it’s scoliosis.”
Saya
pun menangis berkali-kali tanpa saya sadari. Ketika sedang sendirian, pikiran
saya kembali memikirkan nyeri di punggung dan tak terasa air mata saya menetes
kembali. Pikiran saya kerap kosong meskipun ada banyak hal yang harus saya
kerjakan. Belum bangkit dari kesedihan akibat skoliosis, kepanikan bertambah
karena tangan kiri dan kaki kiri saya juga sudah berhari-hari nyeri. Dengan
pikiran yang kalut, saya jadi linglung dan sulit berkonsentrasi. Saya merasakan
penurunan performa dalam pekerjaan. Saya yang biasanya perlu belajar esktra
dengan memakai weekend untuk belajar, hanya bisa beristirahat
total saat weekend. Saya yang seharusnya bekerja lebih keras ketika
di kantor akhir-akhir ini datang dengan kondisi mental yang terganggu. Tentu
saja saya semakin tertinggal dari teman-teman setim saya. Saya yakin mereka
menyadari bahwa something is off with me. Oleh karena itu, saya
merasa tak enak hati. Saya tidak ingin menjadi beban bagi orang lain. Saya
tidak ingin permasalahan pribadi saya ini mengganggu kinerja kami sebagai
sebuah tim. Tetapi sekali lagi, terkadang kamu mencoba yang terbaik tetapi masih saja gagal.
Saya
ingin sekali rehat sejenak dari pekerjaan tetapi itu bukanlah pilihan yang bisa
saya ambil. Saya tengah berada di sebuah penugasan penting dan cukup mendesak.
Jika saya memutuskan untuk berhenti sebentar, jelas saya akan membebani tim di
mana saya bergabung. Maka saya memaksakan diri, dengan pikiran yang tak tenang
dan nyeri di beberapa bagian badan, untuk kembali bekerja. With my current
mental and physical conditions, I am really sorry to anyone who works with me
these days. I'm unable to say it in from of them but I regret my job performance lately.
The
thing is, I don't want to be a burden for everyone yet realise that I’m
breaking down while handling everything alone. I’m just an ordinary woman who
needs consolation too sometimes. But I’m too afraid to ask for it. I need other
people to comfort my feeling but I always keep everything under wraps. Then I’m
left with my worries. I know I’m being overly sentimental but what can I do
when my heart is unknowingly sad even after trying to think positively.
Di
masa-masa seperti ini, saya merasa membutuhkan dukungan moral dari orang lain.
Saya merasa tidak ingin melewati fase ini sendirian. Until one day, a
close friend said to me: “The best painkiller is Allah. The best comfort is
from Allah. So, the next time you cry, make sure you do it in front of Allah,
not human.”
Ya.
Penawar rasa sakit yang terbaik adalah Allah. Hiburan terbaik datangnya dari
Allah. Di masa depan, ketika saya menangis, saya akan berusaha untuk menangis
kepada Allah, bukan manusia lain. Saya akan berusaha untuk tenang meskipun
sendirian. Demi dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, aku akan berusaha
untuk bersabar.
0 Comments:
Post a Comment