THE SECOND BITE OF THE CHERRY
- March 20, 2018
- by Nur Imroatun Sholihat
source: pixabay.com |
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sini, di luar restoran yang disebutkan seseorang melalui pesan singkatnya seminggu yang lalu. Aku begitu bersemangat mengangankan hari ini tiba sampai kemudian aku melihat seseorang itu duduk dengan tenang setelah mencuci tangannya seolah-olah dia hendak segera menyantap sesuatu. Namun, meja di hadapannya kosong seakan dia menanti seseorang untuk duduk di seberangnya. Dan aku sungguh tahu dia tengah menungguku yang tanpa sadar terbentur kenyataan yang telah lama aku ingkari: aku selalu merindukannya. Bertahun-tahun berlalu sejak aku mengharapkan kesempatan ini tetapi ketika ia terwujud di hadapanku, lututku gemetaran.
Perlahan, dengan gugupnya, aku mengambil langkah menuju kursi di depannya. Dia masih bergerak seperti yang kuingat: santun dan menyenangkan. Dia melakukan segalanya dengan tenang—atau setidaknya lebih tenang daripada kebanyakan orang. Itulah mengapa orang-orang—aku sebagai pengecualian, hampir tidak menyadari kehadirannya. Caranya diam-diam menyelinap ke hatiku dan membuat kegaduhan di kepalaku dengan keheningannya membuatku menyadari betapa mudahnya dia selama bertahun-tahun menciptakan getaran yang mengguncang bumi yang kupijak. Dia seperti air yang tenang tetapi bagiku, dia adalah samudra yang bergelombang.
Ah, aku sudah mengenal seseorang ini begitu lama sehingga bisa mengingat setiap detailnya.
“Kamu keliatan sama.” Dia mengangkat kepala ketika mendengar langkahku mendekat kemudian menatap dengan sepasang matanya. Suaranya lebih dalam dari yang kuingat.
Dia melontarkan senyum tipis pada diriku yang membeku. Beberapa orang tidak tahu betapa indahnya senyuman mereka. Setengah hatiku mengeluhkan bagaimana lekuk bibirnya bisa membuatku kehilangan kata-kata. Dia mungkin adalah salah satu orang yang sama sekali tidak mengerti tentang daya pikat diri mereka.
Aku yang sama...ya...orang yang masih merindukannya seperti tahun-tahun sebelumnya. Kesadaranku tersentak. Kabar buruknya adalah aku merindukannya saat dia sudah meninggalkanku. Betapa mengenaskannya aku dengan kontradiksi ini: merindukannya tetapi bersikap begitu tenang, menginginkannya tetapi memperlakukannya seperti seorang teman biasa.
“Apa itu hal yang buruk?” Aku mulai duduk di depannya.
“Itu hal yang bagus.” Dia menjawab sambil mengaitkan kancing lengan bajunya, tidak menatapku lagi seolah pertanyaanku tidak penting.
"Apa kamu masih seseorang yang ...." Aku tidak bisa menahan keingintahuan tentang sesuatu.
“Menulis puisi buatmu? Nggak." Dia dengan santai melanjutkan kata-kataku yang belum selesai. "Aku menghabiskan waktu memikirkan bagaimana seseorang, yang bukan siapa-siapaku, dapat memengaruhi perasaanku sebanyak ini sampai-sampai aku perlu menulis puisi." Keseriusan memenuhi wajahnya. “Tapi aku nggak mempertanyakannya lagi karena aku tahu seberapa dalam perasaanku dulu. "
"Dulu?" Aku bersikap terkejut meski sangat menyadari bahwa tidak mungkin dia masih berperasaan sama setelah hampir sewindu.
“Dan sekarang, kamu bukanlah perempuan yang bikin aku gugup hanya dengan melihatmu tersenyum.” Dia berbicara dengan begitu tertata.
Aku pernah memiliki efek seperti itu padanya? Betapa terlambatnya aku mempelajari fakta penting ini sekarang. Kesadaran membasuhku: pengaruh semacam itu memang dapat memudar setelah bertahun-tahun, bukan?
“Aku merasa rileks melihatmu sekarang bahkan semisalnya kamu menangis atau tersenyum. Apakah itu hal yang buruk? ” Lanjutnya. Dia menyalin pertanyaan yang kuajukan sebelumnya begitu saja.
Ada keheningan raksasa setelah pertanyaan itu. Aku menatap matanya memohon padanya untuk menangkap jawaban melalui udara di sekitar kami. Aku tidak ingin bertindak tidak tahu diri dengan mengiyakan tetapi apa yang dapat kulakukan ketika kenyataan berujar demikian.
"Iya" Aku memutuskan untuk menyampaikan kejujuran. Suaraku melemah. "Aku tahu aku kedengeran seperti perempuan kurang ajar yang menginginkan perhatianmu tapi nggak. Bukan itu intinya." Menyadari aku bisa kehilangan lelaki ini lagi membuatku jauh lebih takut ketimbang mengutarakan jawaban tak tahu diri.
“Apa yang coba kamu sampaikan?” Suaranya tidak sedalam sebelumnya. Ada kegetiran di antara nada bicaranya yang tawar.
“Apakah sudah terlambat?” Aku menghela napas berat. Dia tidak mengatakan apa-apa setelah aku menunggu setumpukan menit. Tidak pernah rasanya aku mendengar keheningan yang memekakkan telinga seperti saat ini.
"Ya. sudah terlambat. Ah seharusnya aku menerima perasaanmu saat itu.“ Aku pikir aku tidak perlu menunggu lagi karena sudah mengetahui jawabannya. Genangan membasahi sudut mataku. Dia menarik napas dalam-dalam sembari memandang ke mana pun kecuali aku. Aku tiba-tiba menyesali kecerobohanku mengambil kesempatan untuk menyatakan perasaan yang kini menjebaknya dalam situasi yang tidak diinginkan. Dia tampak seperti seseorang yang dengan enggannya memikul beban berat bernama pengakuan mendadakku.
“Apa kamu mau bertemu aku lagi besok?” Dia memecah kesunyian yang semula kupikir abadi.
“Hmm?” Masih tidak yakin dengan apa yang kudengar, aku tetap menundukkan kepala.
“Aku bilang, mari berjumpa lagi besok. Mungkin mulai besok, aku nggak akan menulis puisi sedih lagi.”
Aku masih tenggelam dalam kelengangan dan kebingungan.
“Tentu saja, aku sudah melupakanmu.” Dia menarik napas dalam sekali lagi. “Tapi mungkin kita bisa memulai yang baru. Mari berteman .... lagi. ” Dia menawarku senyum tulus khas dirinya.
Senyumku mengembang. Mengetahui bahwa aku memiliki kesempatan kedua yang telah kudoakan membuat hatiku berbunga-bunga. Betapa berharganya dia sekarang menyadari aku hampir kehilangannya selamanya. Meskipun kini aku hanya memiliki sedikit kesempatan, aku tetap bersyukur atas hal itu.
“Kenapa kamu tersenyum lebar?” Dia memecah kebisuan di antara kami lagi.
Tanpa berkata-kata, Aku terus tersenyum seperti anak kecil. Hatiku terasa hangat dan lega. Aku diam-diam tertawa melihat wajahnya yang tersenyum kebingungan. Tidak pernah ada ketenangan yang senyaman ini. Kami tetap tersenyum dan tidak ada aksara yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Aku semakin menyukai senyum tenang, tawa tenang, dan segala ketenangan dari pria ini. Tetapi dari semua hal, aku paling menyukai hatinya yang tenang dan indah untuk membukakan kesempatan kedua untukku.
Pengalaman pribadi kah mba? Cieee
ReplyDeleteI wish it was my personal experience. Haha. But unfortunately it wasn't :(
Delete