-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

8 Dec 2018

LIMA KISAH

  • December 08, 2018
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART 2: PRIA TAK BERKAUS KAKI
source: trackblasters.com 
(28 Januari 2011)

“Ah, aku lupa pake kaos kaki.” Pria berkemeja batik itu berbicara lirih kepada temannya.

Naura yang sedang serius membaca script siaran di ruang tunggu DASA Radio mau tak mau melirik ke arah kaki pria yang duduk di seberangnya itu. Actually he looked fine without socks. Naura bergumam dalam hati kemudian kembali mempelajari lembar-lembar kertas di tangannya.

“Cuma wawancara radio kali, Len.” Jawab pria yang duduk di sebelahnya. Keduanya sama-sama memakai batik dengan bawahan celana jeans dan sneakers. Bedanya pria yang kali ini berbicara memakai kaos kaki. Mereka pun mengobrol ke sana ke mari--sebagian besar tentang materi kuliah akuntansi. Mereka menertawakan soal yang tidak selesai mereka kerjakan, jawaban yang berbeda dan tidak bisa mereka yakini mana yang benar, dan segala obrolan yang asing bagi Naura. Dari cara mereka tertawa bersama saja siapapun dapat langsung menyadari betapa akrabnya mereka.

“Mas Galen, Mas Faris,” Ayu, penyiar DASA Radio yang muncul dari dalam studio menyapa kedua pria yang baru beberapa menit yang lalu membahas kaos kaki itu. “Boleh masuk dulu.  Setengah jam lagi kita on air ya.” Ayu mempersilahkan dengan senyum ramahnya. Dia menoleh begitu menyadari rekan penyiarnya juga ada di ruang tunggu tersebut.

“Nau, tumben udah dateng. Siaranmu kan sejam lagi.”

“Pulang dari ngerjain tugas kelompok. Daripada ke kosan udah deh ke sini aja.”

“Nggak nunggu di dalem?”

Yang ditanya hanya menggeleng. “Duluan deh. Aku baca script di sini aja.” Naura tersenyum. Ayu membalas senyum itu kemudian masuk ke dalam studio diikuti dua pria yang nampaknya ikut menyimak perbincangan singkat mereka.

Diedarkannya pandangannya ke segala penjuru gedung kemahasiswaan melalui dinding kaca ruang tunggu studio itu. Gedung  tempat beragam UKM bermarkas itu memang selalu riuh bahkan di malam hari. Naura kembali membaca surat-surat yang dikirim pendengar untuk dibacakan di acara Lima Kisah. Selalu menjadi kebahagiaan tersendiri baginya membaca pikiran pendengar yang berbagi kisah kepada program yang dipandunya. Dia menuliskan komentar-komentar atas surat-surat terpilih sebagai bahannya siaran nanti. Sesekali dia mengalihkan perhatiannya pada layar ponselnya. Grup persahabatannya sedang membicarakan mengenai tragedi kecelakaan KA Mutiara Selatan dan KA Kutojaya Selatan yang terjadi dini hari tadi dan langsung menyita perhatian seluruh Indonesia seharian ini.

Pesan dari Bima membuatnya ingin mengetikkan sesuatu di grup itu. “Katanya ada 3 korban meninggal ya. Innalillahi.”

“Iya. Merinding banget denger beritanya. Biasanya kan aku kalau pulkam naik Kutojaya. My heart ache for the passengers. Semoga seluruh penumpang diberi keselamatan ya.” Naura mengetik pesan di grup google talk itu kemudian menyandarkan badannya di sofa.

“Sobat DASA, kembali lagi di acara ‘What’s Up DASA’. Sebelumnya Ayu ingin menyampaikan bahwa segenap kru DASA Radio turut berduka cita atas kecelakaan yang menimpa KA Mutiara Selatan dan KA Kutojaya Selatan. Semoga penumpang kedua kereta tersebut diberi keselamatan, korban yang meninggal dunia diterima amal ibadahnya, dan keluarga yang ditinggal diberi ketabahan.” Ayu membuka acara yang dipandunya dengan nada sendu. Ada jeda beberapa detik sebelum gadis kelahiran Semarang itu mulai berbicara kembali.

“Kali ini Ayu udah bersama Galen dan Faris dari Forum Studi Akuntansi atau yang biasa disingkat FSA. Dari namanya sih keliatan serius banget ya. Hihihi.” Ayu tertawa rendah yang disambut tawa lirih kedua pria yang diajaknya berbicara. Perempuan yang sudah setengah tahun memandu acara yang menceritakan kegiatan-kegiatan kampus yang sedang dan akan berlangsung atau mahasiswa atau UKM yang menarik itu menyapa ramah bintang tamunya. “Guys, perkenalin diri kalian dong.” Ayu kembali pada keriangan khasnya yang mencerahkan suasana. Pria yang bernama Faris terlebih dahulu memperkenalkan diri disambung rekan satu organisasinya.

“Hai, saya Galen Wardhana. Akuntansi 2009. Wakil Ketua FSA.” Suara beratnya menggema melalui speaker di sudut ruang tunggu. Naura tersenyum mengingat pria yang setengah jam yang lalu tampak kecewa hanya karena tidak memakai kaos kaki itu. Lagipula, pendengar mana yang tahu dia memakai kaos kaki atau tidak. Semua orang hanya mendengarkan suaranya saja bukan?

“Nah, Mas Faris nih, apa sih hal yang berkesan dari kuliah di akuntansi?” Ayu mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih personal.

“Sampai sekarang sih, saya selalu kesel kalau jurnal nggak balance. Saya biasanya ngecek berulang-ulang sampai balance gitu. Kedengarannya nggak asyik banget ya anak akuntansi tapi justru tantangan semacam ini bikin kuliah di akuntansi jadi lebih berkesan.” Jawab pria berkacamata itu.

“Kalau Mas Galen?” Ayu beralih bertanya kepada tamu lainnya.

“Saya justru kebalikannya Faris ya. Biasanya saya ngitung debit aja terus nilai kreditnya langsung ngopy dari nilai debitnya.” Pria yang beberapa waktu lalu didengar Naura mempermasalahkan hal sesepele lupa memakai kaos kaki berubah menjadi pria yang jauh dari kesan serius khas anak akuntansi. Galen kemudian menyadari statement-nya terdengar aneh maka dia pun menertawakan kalimatnya sendiri. Naura yang sedang merapikan script siarannya pun tak urung tertawa. This guy is very relatable. “Maksud saya, kalau saya perfeksionis, soalnya nggak selesai dalam waktu yang ditentukan.” Galen buru-buru menambahkan.

Faris Wijaya dan Galen Wardhana anak-akuntansi-yang-nggak-pernah-ngitung-nilai-kredit-karena-langsung-aja-samain-dengan-nilai-debitnya itu masih berbincang-bincang dengan Ayu ketika Naura hendak masuk ke ruangan siaran. Naura menepuk bahu Ayu lirih kemudian membisikkan sesuatu.

“Mas Faris, Mas Galen, bagus jawaban-jawabannya.” Naura mengacungkan jempol ke arah tamu acara yang dipandu Ayu yang disambut senyum kedua pria itu.

“Terima kasih, Naura.” Jawaban seseorang menghentikan gerakan Naura membuka pintu ruang siaran. Ditolehnya kedua orang yang kini telah kembali berbincang-bincang dengan dengan Ayu. Setengah jam mendengarkan mereka berbicara di radio tentu Naura hafal siapa pemilih suara yang baru saja menyebutkan namanya.

Menyadari dirinya ditatap seseorang, Galen mengalihkan pandangannya ke pintu ruang siaran. Dia melemparkan senyumnya kepada perempuan yang kini menatapnya keheranan. “Naura Raya kan?” dia berbicara tanpa suara. “Atau bukan?”

Mengetahui pria itu menunggu jawabannya meskipun seharusnya mendengarkan obrolan Ayu dan Faris, Naura tersenyum sembari mengangguk. Galen tersenyum seperti anak kecil yang bertemu mainan favorit yang sempat hilang—senyum yang sungguh mudah diingat bahkan sejak pertama bertemu. What a genuine smile from a seemingly-innocent man, batin Naura.

“Semangat siarannya.” Pria itu kembali berbicara tanpa suara sembari mengepalkan tangan kanannya di udara. “I’m listening to you almost everyday.” Galen melakukan gerakan seolah-olah terdapat headphone imajiner di kepalanya. Naura tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat pria tak berkaus kaki itu tersenyum dengan polosnya. Tawa lirih mengembang di wajahnya sebelum on air program “Lima Kisah” yang sejak setengah tahun yang lalu menjadi bagian penting hidupnya.
***

Naura berjalan menuju lobi untuk kemudian menyadari hujan tengah mengguyur kampus dengan deras-derasnya. Diliriknya pria yang juga sepertinya sedari tadi menunggu hujan reda. Berkali-kali dia berpapasan dengan lelaki tersebut di gedung ini tetapi tidak pernah dia mengetahui identitasnya. Ditatapnya pria yang tengah mengetik sesuatu di ponselnya itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Naura tersenyum. Mulai malam ini, seseorang yang tidak mengenakan kaos kaki akan selalu mengingatkannya pada seseorang. Seperti menyadari dirinya sedang ditatap, pria itu menoleh. Terlambat bagi Naura untuk mengalihkan pandangannya sehingga pandangan mereka bertemu.

“Kenapa Mbak?” Suaranya terdengar ragu.

“Nggak. Masnya kaya familiar aja. Tapi nggak tau mirip siapa.” Naura menjawab sekenanya. Tentu saja Naura tahu jawaban sebenarnya: mirip seseorang yang sama-sama tidak memakai kaos kaki—bukan wajahnya tetapi kakinya.

Pria itu mengangguk kemudian menatap rintik hujan yang bergemericik di halaman depan gedung kemahasiswaan seolah kalimat Naura tidak berarti apa-apa. Tatapannya kosong seolah tidak ada yang dipikirkannya. Seingat Naura, pria ini kerap menatap dengan tatapan sekosong ini setiap kali mereka berpapasan. Apa yang sebenarnya ada di kepalanya?

“Mbaknya juga familiar kok. Kayanya sering papasan ya. Penyiar ya?”

Naura yang sedang mencari sesuatu di tasnya berhenti mencari. Ditatapnya kembali pria tersebut sembari mengangguk.

“Naura Rayadinata. Pernah denger saya siaran?” Senyum Naura mengembang setiap kali memperkenalkan diri sebagai penyiar.

Pria itu menggeleng hening.

“Saya sering liat mbaknya di ruang depan DASA Radio makanya nebak kalau mungkin mbaknya penyiar.”

Naura tersenyum menyadari bagaimana mungkin dia berharap semua orang mengenalnya hanya karena dia seorang penyiar radio. Di luar gelembung kehidupannya, ada banyak gelembung lain yang bahkan tidak pernah melihat apa yang ada di gelembungnya.

“Tadi Faris jadi bintang tamu ya.”

“Iya. Di acara penyiar sebelum saya. Kok kenal Faris?”

“Teman sebangku waktu SMA. Tadi sempet ketemu di depan studio.”

“Aaaaaaaaaahhh. Masnya sahabatnya Faris.” Naura mengangguk paham. “Masnya kenapa setiap hari ada ke sini?” Naura yang tiga menit lalu mencari sesuatu di tasnya kini menutup tasnya tanpa mengeluarkan apapun sebelumnya.

“Saya anak Ilkom makanya setiap hari ke lab komputer.” Jawabnya datar seolah pertanyaan ini sudah diajukan puluhan kali dan dia sudah hafal jawabannya.

Di gedung ini, laboratorium komputer memang terletak bersebelahan dengan studio radio.

“Ilkom? Ilmu komunikasi?” Naura bertanya usil.

“Ilmu komputer.” Ralatnya cepat.

“Hahahaha. Becanda, Mas. Saya juga tau kalau ilkom Ilmu Komputer.” Naura tertawa lepas. “Saya anak Ilkom juga. Ilmu Komunikasi.” Kali ini, sang penyiar nampak menahan tawanya. “Hai teman sejurusan.” Naura melambaikan tangannya ke arah pria berkemeja flanel itu.

Sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Dari balik kacamatanya yang sedikit berembun akibat hujan dia bisa melihat perempuan itu masih tertawa. Suara ponsel Naura menyadarkannya dari tawa.

“Nau, pinjem catatan kerja kelompok kita tadi sih. Udah pulang siaran?” Suara di seberang sana menyapa.

“Udah mau pulang sih. Nunggu ujan reda.”

“Emang kamu nggak bawa payung? Bukannya selalu bawa ya.” Pria yang juga anggota grup persahabatannya itu bertanya keheranan.

Ketika menyadari dirinya telah dengan sengaja tidak mengeluarkan payungnya, Naura melirik pria di sebelahnya yang kini menatap hujan. Kenapa tadi aku urung mengeluarkan payung?

“Mau dijemput?” Menyadari Naura tidak menjawab pertanyaannya, Deka yang berbicara di seberang berpikir mungkin memang Naura lupa membawa payung hari ini.  

“Nggak usah. Bisa pulang sendiri kok.” Naura menutup telponnya. “Mas teman sejurusan, saya pulang dulu ya.” Naura buru-buru mengeluarkan payungnya dan berjalan membelah hujan.

“Hati-hati.” Suara pria ini hampir tidak terdengar di tengah suara hujan yang riuh.

Baru melangkah sejauh satu meter, Naura berhenti kemudian berbalik arah.

“Saya ngekos di belakang kampus. Masnya tinggal di mana? Kalau searah ikut saya aja.” Naura tersenyum menawarkan tumpangan payung.

Pria yang ditanya menggaruk kepalanya seolah pertanyaan Naura sesuatu yang lebih sulit dari mencari bug yang terselip di ratusan baris code yang disusunnya untuk kelas programming. Ditatapnya perempuan yang menunggu di bawah rintik hujan itu. Ingin ia menolak tetapi keinginan untuk beristirahat segera setelah kegiatan seharian ini yang menguras tenaga menguasai pikirannya.

“Nggak apa-apa, Mbak?” Suaranya terdengar ragu-ragu.

“Daripada nunggu lama. Belum tentu sejam lagi reda kan?” Naura menjawab dengan ringan. Dia mengarahkan payung di tangannya kepada pria yang kini tengah memindahkan tas punggungnya ke depan. Gerakan tersebut seolah bermakna melindungi laptop yang dibawanya: harta yang sungguh berharga bagi seorang anak TI. Pria itu melangkah cepat ke arah Naura kemudian mengambil alih pegangan payung itu. Dicondongkannya payung itu ke arah Naura memastikan perempuan itu tidak terkena tetesan hujan.

“Mind yourself too. I’m not gonna die just because of rain drops. ” Naura menggeser pegangan payung agar kembali ke tengah. Sudut bibir pria itu sedikit terangkat: sesuatu yang Naura sadari sebagai cara tersenyum pria ini.
-----
(to be continued)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE