LIMA KISAH
- December 28, 2018
- by Nur Imroatun Sholihat
PART #4: HEARTBEAT
source: trackblasters.com |
“Hmmm hmmm hmmm hmmmm.”
Naura bergumam lirih. You're the one who makes me happy when everything else turns to grey1
“Lagu apa sih, Nau?” Galen yang baru saja datang menatap Naura yang sedang serius menulis script untuk siaran.
Menyadari Naura tidak
mendengar ucapannya, Galen yang duduk agak jauh bergeser mendekat mengambil earphone sebelah kiri perempuan itu
kemudian memasangnya di telinga kirinya. Naura sontak menoleh ke arah seseorang
yang mengambil earphone-nya itu.
“Dengerin apa sih, Nau?”
You are the crowd that sits quiet listening to me
And all the mad sense I make
You are one of the few things worth remembering 1
Naura masih belum
memalingkan wajahnya dari pria yang kini di seluruh wajahnya tergambar bahwa dia menunggu jawaban Naura. Keterkejutan jelas belum hilang dari wajah Naura mendapati Galen kembali muncul di ruang siaran bak jin yang muncul mendadak.
“Carpenters.” Naura
menunjukkan music player di ponselnya. “The Carpenters." Ulang Naura. "Kamu kenapa tiba-tiba
di sini?”
“Kamu cuma dengerin The
Carpenters doang ya?” Seolah tak mendengar pertanyaan Naura, Galen men-scroll layar ponsel Naura untuk melihat
seluruh lagu yang tersimpan di ponsel perempuan itu adalah milik dua bersaudara
asal Amerika itu. “What an unique taste. Hey, weirdo.” Galen meledek perempuan yang kini memakai bando biru itu.
“Seleraku emang aneh
tapi kamu lebih aneh lagi. Kamu tuh orang paling random yang pernah aku kenal.
Kecewa nggak make kaos kaki, nggak pernah ngitung kredit, suka tiba-tiba muncul
di gedung ini, bilang kayanya betah hidup di zaman alat telekomunikasi
masih kentongan, bisa pergi ke museum tapi lupa jalan pulang. Kamu master soal hal yang aneh.” Tak mau kalah,
Naura membalas ledekan Galen.
Galen tertawa mengingat
beberapa waktu yang lalu dia berkata pada Naura bahwa hidup di masa alat
komunikasi kentongan sepertinya menyenangkan. Ingatannya melayang pada hari
yang membuatnya tersenyum sepanjang hari itu.
“Nau, kalau aku pukul 7
kali artinya apa?” Galen menunjuk kentongan di Museum Telekomunikasi.
“Ya masa aku tahu.” Naura
yang berdiri beberapa meter di depan Galen sembari memandang benda-benda yang dipamerkan di museum itu mengangkat bahunya.
“Artinya aku butuh bantuan.
Cepet cepet cepet cepet dateng.” Pria berkemeja biru muda itu berbicara cepat sembari menggerakkan
tangannya menyuruh Naura mendekat.
Naura hanya tertawa berdiam
di tempatnya sembari menggeleng.
“Kalau 8 kali?” Naura
bertanya sembari berjalan mundur.
“Ada kebakaran.” Galen menduplikat kecepatan melangkah Naura yang lambat sebab berjalan mundur.
“Bukannya kebakaran itu 3
kali?” Naura tersenyum meledek.
“Ya terserah aku yang bikin
artinya.” Galen berbicara tanpa rasa bersalah. What a shameless guy, Naura menepuk jidatnya.
“Kalau 9 kali?” Naura menggerakkan tangannya seolah tengah memukul kentongan.
“Ada maling.”
“Hahahahahahaaa” Naura
berhenti berjalan mundur. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya sebab dia
tidak mampu menahan tawa yang meledak begitu saja.
“Beneran. Kamu malingnya
ya? Kok ketawa sih.” Galen memasang ekspresi serius.
“Aku nggak nyuri apa-apa.”
Naura berusaha menghentikan tawanya.
“Are you sure? Ayo ke
kantor polisi.” Galen tertawa usil.
“Hihihihi.” Naura
menggeleng.
“Nau, heartbeat itu jenis komunikasi bukan sih?” Galen dan Naura melanjutkan
menyusuri satu persatu alat komunikasi yang terpajang.
“Bukan lah.”
“Tapi kadang-kadang detak jantung
lebih mewakili kata-kata, Nau.”
“Kamu nih nggak abis-abis
ya keanehannya. Gimana kita menerjemahkan detak jantung coba? Gimana
komunikannya meng-decode pesan
komunikatornya? Gimana cara tahu pesannya? Begini?” Naura meletakkan tangannya di samping telinga
seolah-olah berusaha mendengar detak jantung Galen dari jarak satu meter di
antara mereka. “Ah nggak denger.” Naura berjalan mendekat tetapi Galen
buru-buru berjalan mundur.
“Please don’t.” Galen kembali
berwajah serius. Kedua tangannya berusaha menghalau Naura dari berdiri terlalu dekat.
“See? Gimana caranya manusia berkomunikasi dengan jantung sementara orang pasti nggak mau kan ada orang yang tiba-tiba ndengerin detak jantungnya. Mungkin itu salah satu alasan detak jantung nggak jadi bagian dari komunikasi.” Naura kembali berjalan ke depan diikuti Galen di belakangnya yang sibuk mengusap tengkuk.
Naura menggerak-gerakkan
tangannya di depan wajah Galen yang sedang tersenyum bersama pikirannya. Pria ini tidak datang tiba-tiba ke ke sini hanya
untuk melamun bukan?
“I said, kamu ngapain ke
sini? Bukan karena alasan yang nggak kamu tahu kan?” Pertanyaan Naura menyeret
Galen kembali ke masa sekarang.
“Mau nganterin ini.” Bangun dari lamunannya, Galen
menyodorkan novel Freedom karya Jonathan Franzen.
“Ahhhhh. Kamu masih inget
aku pengen baca buku ini. Makasih ya.” Naura menerima buku dari Galen. “Oh ya, kamu
tau soal Carpenters?”
Mata bulat Galen menyipit mendapati
pertanyaan Naura. Dia tersenyum.
“Nggak. Tapi mulai sekarang
aku bakal nyari tahu.” Jawaban yang terdengar spontan dan polos saja.
Galen mengeluarkan ponselnya, mencari nama Naura di daftar kontaknya, kemudian menekan ‘call’. Music player Naura berhenti berganti nama Galen Wardhana muncul di layar.
Galen mengeluarkan ponselnya, mencari nama Naura di daftar kontaknya, kemudian menekan ‘call’. Music player Naura berhenti berganti nama Galen Wardhana muncul di layar.
“When I was young I’d listen to be radio waiting for my favourite songs.”
Galen mencari di google lirik lagu yang didengarnya dari ponsel Naura itu.
“Yesterday Once More?”
Galen menunjukkan hasil pencariannya di google. “Ini lagu favorit kamu?”
Naura mengangguk kikuk. Tak
disangka cara menebak lagu favoritnya semudah itu.
Galen mengembalikan
earphone kiri sang penyiar kemudian bergumam pelan sembari keluar dari ruang tunggu
studio. Naura tersenyum seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya. Galen
berusaha menggumamkan lagu yang baru saja diketahuinya itu. Dari dinding kaca
ruang tunggu studio, Naura bisa melihat pria itu melambaikan tangannya bersama tatapan polosnya.
Aku menyadari semua usahanya untuk berkomunikasi denganku--tidak
hanya sekedar berbicara tetapi benar-benar berkomunikasi denganku. Untuk
memahamiku, untuk masuk dalam dunia kecilku. Usaha. Sesuatu yang sepertinya benar-benar
dilakukan Galen tetapi juga begitu saja dia lakukan. How can someone
be effortlessly effortful like he is?
***
Dha, di lab?
Iya, Nau. Knp?
“Hai, Madha. Siaranku masih setengah jam lagi. Boleh
aku masuk?” Kepala Naura menyembul dari
balik pintu lab komputer sesaat setelah menerima pesan balasan dari Madha.
Yang ditanya hanya menoleh sebentar kemudian
mengangguk. Naura duduk di sebelah Madha memperhatikan pria itu mengetik
baris-baris yang asing. Naura memperhatikan tatapan serius pria itu ke layar
seolah Naura tidak ada di sana.
“Urat-urat tangan kamu sampe muncul. Kebanyakan ngetik
tuh.” Ceplos Naura.
Madha melirik kemudian melanjutkan mengetik.
“Aku cuma bilang kebanyakan ngetik. Nggak nyinggung
soal coding atau bahasa pemrograman sama sekali. Kamu marah?” Naura menyadari keheningan teman dekatnya itu.
“Nggak, Nau. Takut lupa makanya aku lanjut ngetik
dulu.” Madha masih mengetik tanpa menoleh sedikit pun.
Gerakan tangan Madha semakin cepat seolah Naura
hanyalah bayangan yang tidak terlihat di sana. Naura pun berpikir mungkin
dirinya hanya mengganggu saja.
“Ya udah deh aku balik ke studio dulu.” Naura beranjak
dari kursinya.
Langkah Naura terbatalkan begitu saja karena seseorang
memegangi ujung kemejanya. Sontak
Naura menengok ke samping ke arah pria yang menghentikan langkahnya itu.
“Sini dulu, Nau.”
“Aku ganggu doang di sini.”
“Nggak kok. Duduk, Nau. Udah hampir selesai kok satu
modul. Bisa dilanjut besok lagi.”
Madha masih memegangi kemeja Naura. Bahkan saat tangan kirinya menghalangi langkah Naura,
tangan kanan pria itu masih sibuk di atas keyboard.
Menyadari Naura tidak kunjung duduk kembali, Madha
mendongakkan kepala untuk mendapati Naura yang menatapnya heran.
Ini pertama kalinya seseorang
menemaniku melakukan hal yang membosankan ini dan dia tidak mengeluh--alasan aku menghentikannya pergi. Dia
memperhatikan baris-baris ini seolah dia bisa membacanya—seolah dia sangat
tertarik bahasa pemrograman. Naura Raya, 2011, apa sebenarnya yang kamu tahu
soal TI?
“Please?” Madha berucap ragu. Naura pernah berkata padanya untuk mengucapkan ‘tolong’ atau ‘please’ saat
meminta sesuatu. Naura pun kembali
duduk ke kursi yang semula didudukinya.
“Makasih ya, Nau.” Madha melepas genggamannya dari
ujung kemeja Naura. "Maaf ya aku benaran takut lupa. Tapi kalau kamu mau ngomong, aku dengerin kok."
“Aku terharu. You learned to say what’s in your mind now. Apalagi bilang 'tolong', 'makasih', 'maaf'.” Naura masih dengan tatapan
herannya.
“Heh?” Madha kembali
berfokus pada layarnya.
“Dulu kamu sering banget
ngliatin seolah-olah ada yang mau diomongin tapi nggak berani ngomong.” Naura
tersenyum.
“Artinya kita udah kenal
cukup lama. Aku cuma ngomong macem-macem sama orang yang udah lama temenan.”
Tatapan serius Madha seolah bisa memecahkan layar di depannya. "Lagian kan udah lama temenan sama anak komunikasi, masa nggak meningkat kemampuan komunikasinya?" Sudut bibir Madha terangkat--cara tersenyum yang sungguh khas. Naura mengangguk sembari tersenyum.
“Tapi, Dha, gimana bisa
kamu bales sms-ku pas lagi coding?” Naura kembali memperhatikan tatapan serius Madha ke layar. Ucapan Naura tersebut akhirnya berhasil membuat Madha menoleh. Sebuah keheningan
tercipta begitu saja meski Naura mengangkat alisnya pertanda menagih jawaban.
“Bukannya aku selalu jawab
sms-mu? Sebagian besar sms itu aku bales pas aku lagi coding.” Madha kembali mengetik.
Naura mengangguk pasrah mendapati Madha yang seolah tak tertarik diajak mengobrol. Dia mengeluarkan script siaran dari tasnya kemudian
menulis komentar atas surat-surat yang akan dibacakan nanti. Keduanya terjebak
dalam gelembung masing-masing berlatarkan suara jari-jari Madha bergerak cepat
di atas keyboard.
“Nau, coba install whatsapp
deh. Biar nggak perlu sms-an.” setelah beberapa menit berlalu, Madha berhenti mengetik kemudian mengarahkan
kursinya ke arah Naura.
“Whatsapp?” Naura
mengernyitkan dahi.
“Kaya gini nih.” Madha
mengulurkan ponselnya. Naura menerima ponsel berwarna hitam itu kemudian
membuka aplikasi yang icon-nya berwarna hijau.
“Kok namaku nggak ada?”
“Hayooo lho rusak.” Madha berwajah serius sembari menahan tawa.
“Masa sih ngilangin nama
aja artinya ngrusakin? Atau jangan-jangan kamu nggak nge-save nomerku ya." Protes Naura.
“Hahhahahahahhaha.” Madha
tertawa tanpa suara melihat Naura yang masih berusaha mencari namanya melalui kolom
search sembari menebak-nebak kerusakan apa yang telah disebabkannya.
“Kamu kan belum install,
Nau. Makanya install biar namanya muncul di sini. Sini hp-mu.” Madha
menengadahkan tangannya meminta ponsel Naura.
“Nggak mau. Nanti dirusakin
sama kamu.” Naura balas meledek.
“Nggak lah, Nau.” Madha
mengambil ponsel Naura tanpa menunggu persetujuan perempuan itu.
“Btw, Dha, wallpaper kamu
ini gambar apa sih?” Naura bergerak mendekat untuk menunjuk layar laptop Madha.
Jaraknya sangat dekat dengan pria berjaket hitam yang sedang meng-install
whatsapp di ponselnya. Menyadari
sesuatu, Naura menarik badannya mundur agar tidak lagi condong ke arah Madha
dan layar laptopnya. Tatapannya bertemu dengan Madha yang sedang menatapnya kikuk. Naura teringat ucapan Galen beberapa bulan yang lalu di Museum Telekomunikasi. Tidak mungkin
detak jantung seseorang yang duduk menulis baris-baris code secepat barusan
bukan?
“Aku berharap para ahli
komunikasi di luar sana memasukkan jantung sebagai bagian dari komunikasi. Detaknya
menggambarkan pesan yang ingin disampaikan.” Kata-kata Galen tiba-tiba
berputar-putar di kepalanya. "Nggak adil kan kalau detak jantung nggak dianggap ketika ekspresi, gesture, dan tatapan mata aja disebut bahasa nonverbal." Galen terdengar iseng saja meski terdapat nada protes di sana. Nada bicaranya kali itu terdengar serius meski dilontarkan oleh seseorang yang jahil dan gemar melempar lelucon.
Tangan Naura bergerak
perlahan untuk meraba detak jantungnya sendiri.
-----
1Lirik You-The Carpenters
-----
1Lirik You-The Carpenters
0 Comments:
Post a Comment