-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

27 Jan 2019

LIMA KISAH

  • January 27, 2019
  • by Nur Imroatun Sholihat

PART 6: THE LITTLE WORLD WE SHARED
source: trackblasters.com
“Nau...” Bima menahan Naura melanjutkan obrolan mereka kemudian mengarahkan dagunya ke arah tirai yang baru saja disibak seseorang. Mata Naura mengikuti arah yang dimaksud.

“Lho kok di sini?” Naura spontan bertanya.

“Aku juga panitia. Humpubdok. Hari ini bener rapat gabungan pertama kan ya?” Bima dan Naura sama-sama mengangguk. Madha berjalan mendekat kemudian ikut duduk lesehan bersama Bima dan Naura di ruang kecil yang disekat khusus untuk digunakan seksi Humpubdok, singkatan dari Humas, Publikasi, dan Dokumentasi, sebuah bidang di kepanitiaan Peringatan 25 tahun universitas mereka itu. “Kamu pasti hasil close recruitment ya ya makanya kita nggak ketemu pas wawancara. Aku wawancara bareng Bima waktu itu.” Madha menjelaskan. Close recruitment adalah mekanisme rekrutmen panitia secara tertutup. Naura ditunjuk secara langsung oleh ketua bidang Humpukdok untuk ikut menjadi panitia tanpa melalui proses wawancara. Naura mengangkat alisnya ke arah Bima mempertanyakan bagaimana bisa dia tidak bercerita kalau dia sudah mengenal Madha.

“Iya. Kami udah kenal. Dia bilang dia temenmu. Aku bilang ‘Iya udah tahu kok. Naura mah nggak ada yang nggak diceritain ke aku’.” Bima tersenyum bergantian ke arah Naura dan Madha.

Naura menatap Bima dengan tatapan please-stop-talking-now-your-words-might-give-him-the-wrong-impression yang dibalas Bima dengan tatapan I-didnt-tell-him-anything-weird.

“Bima cuma bilang kamu cerita kalau punya kenalan anak Ilkom. Gitu doang kok, Nau.” Menyadari perang tatapan antara Naura dan Bima, Madha meyakinkan Naura bahwa tidak pernah ada pembicaraan apapun.

“Aku kan temenmu, Nau. Masa iya aku bongkar rahasiamu.” Bisik Bima yang disambut jawaban tanpa suara dari Naura “rahasia apa coba.”. Bima menyembunyikan wajahnya di belakang Naura agar tawa usilnya tidak terlihat. “Oh ini orang yang pengen kamu hindari sementara waktu?” Bima berbisik meledek sembari masih bersembunyi di belakang Naura.

Madha tersenyum melihat Naura dan Bima yang tersenyum bersama seolah itu hal yang biasa mereka lakukan sehari-hari sekaligus mempertunjukkan keakraban yang terang benderang. So, what's happening right in front of my eyes is the proof of what Naura said before: Aku temenan sama kamu belum selama temenan sama mereka.

“Btw, gimana lombanya? Liat foto-foto coba.” Naura mengalihkan pembicaraan agar terlihat senormal mungkin di depan Madha. Dia kemudian mendorong Bima yang masih tertawa di  belakangnya kembali ke posisi duduknya semula. Madha mengeluarkan ponselnya dari saku kemudian memberikannya kepada Naura.

“Kekunci.” Naura mengulurkan kembali ponsel di tangannya kepada pemiliknya.

“Ini passcode-nya.” Madha menunjukkan pola passcode-nya yang menyerupai huruf r kecil.

“Kok kamu ngasih tau passcode-nya? Kamu kan ilkom, masa nge-share passcode,” ekspresi tak percaya memenuhi wajah Naura melihat gerakan jari Madha di atas layar. “Password, passcode, PIN kan nggak boleh dibagi ke siapapun bahkan sekalipun buat kamu orang itu penti...” Naura menghentikan kalimatnya menyadari ucapannya bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Madha tersenyum menyadari kekikukan yang tergambar di wajah Naura. “Aku percaya kamu nggak bakal menyalahgunakan. Lagian biar gampang kalau kamu pinjem hp-ku lagi.” Naura masih memasang sorot mata kikuk yang meski tidak diarahkan kepadanya, Madha tahu itu untuknya. “Mau sampai kapan sih kamu curiga sama aku, Nau. Aku benaran bersikap begini karena kamu udah aku anggap teman deket.”

Naura mengerutkan keningnya. Ponsel itu masih dibiarkannya di digenggamnya seolah keinginan melihat foto-foto di dalamnya luntur begitu saja. Aku nggak mau punya pertemanan yang aneh. Tetapi bagaimana jika ternyata ini hanya aneh untukku dan biasa saja baginya?

“Naura, aku juga panitia.” Galen yang muncul di dari balik tirai ruang humpubdok menambah kekagetan Naura. Dia menoleh ke arah Bima memberi kode bahwa dia berada dalam situasi yang tidak diinginkannya. Hari ini dua orang yang tidak ingin ditemuinya ternyata sama-sama ada di ruangan yang sama dengannya. Ucapan Galen beberapa minggu yang lalu tentang mata yang tidak berbohong membuatnya tidak ingin bertemu dengan pria itu dalam waktu dekat. Dan kini pria itu sedang tersenyum ke arahnya dengan senyum khasnya—that precious innocent smile. 

“Itu Galen? Dia juga panitia? Aku berasa nonton drama, Nau.” Bima yang duduk di samping kanan Naura berbisik yang disambut anggukan pelan Naura. Naura memejamkan mata berharap bisa tiba-tiba menghilang dari ruangan kecil itu.

Galen memukul lirih lemari kayu yang ada tepat di dekat tempatnya berdiri sebanyak 7 kali. Naura tahu Galen sedang menganalogikan lemari itu sebagai kentongan dan otomatis mengenali maksud di balik pukulan 7 kali itu. Bagaimana Naura bisa mengetahui analogi aneh tersebut? Masuk dalam dunia kecil Galen selama 8 bulan cukup untuk membuatnya mengerti pria ini dan jalan pikirannya yang kelewat unik itu.

“Boleh minta bantuan, Nau? Katanya pubdok butuh uang buat cetak banner. Bilangin sama yang mau nyetak banner ya nanti bisa minta duitnya ke aku.”

Benar ternyata dia menganggap lemari itu kentongan. Naura menggelengkan kepalanya berkali-kali sebab tak percaya dia memahami maksud Galen begitu saja. Anyway, ketua panitia, bagaimana mungkin kamu memilih seseorang yang tidak pernah menghitung kredit ini sebagai bendahara?

“Oke. Makasih, Len.” Jawab Naura sembari mengangguk.

Galen menimpali anggukan Naura dengan anggukan penuh semangat. Dia kemudian kembali memukul lirih lemari kayu sebanyak 7 kali. Naura yang semula sudah menunduk kembali memfokuskan perhatiannya pada Galen. Dia ingin minta tolong apa lagi?

Galen menunjuk ke arah Naura kemudian menarik sudut bibir ke atas dengan ibu jari dan telunjuknya. Naura otomatis tersenyum menyadari Galen meminta tolong agar dirinya tersenyum. Mungkin sedari tadi wajahnya terlihat sangat kaku dan tegang. Galen mengangguk senang kemudian keluar seusai menganggukkan kepalanya ke Bima dan Madha yang juga ada di ruangan itu.

“Harus banget ya mukul-mukul lemari?” Bima tertawa tak percaya. Sebuah tawa yang sepertinya sedari tadi ditahannya menunggu Galen keluar dari ruangan itu.  “Dia kok weird gitu sih, Nau. Tapi seru sih kayanya orangnya.” Bisik Bima.

Naura mengangkat bahu pertanda sebenarnya dia juga tak paham mengapa seseorang bisa seaneh itu. Dia kemudian semakin yakin bahwa dia telah masuk dalam dunia aneh itu, sebuah dunia yang mungkin hanya mereka berdua ketahui.

“Yang bakal nyetak banner siapa ya?” Naura bertanya kepada Bima.

“Aku.” Madha menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop yang entah sejak kapan dibukanya. Naura menoleh dan mendapati wajah serius seseorang yang duduk di sebelah kirinya itu. Ponsel milik lelaki itu masih di genggamannya. Entah mengapa dia tidak berani mengembalikan benda itu saat ini meski telah kehilangan keinginan melihat foto-foto di dalamnya. Madha dan dunia kecilnya yang seolah tidak bisa diganggu. Madha dan dunia yang tidak dibaginya dengan siapapun. Telah mengenalnya selama 8 bulan tetapi aku masih merasa sekat antara aku dan dunianya tidak pernah berkurang ketebalannya.

***

“Len, aku disuruh mintain duit ke kamu. Tiga ratus ribu.” Naura menghampiri Galen yang duduk bersila di ruangan kecil yang letaknya berseberangan dengan ruangan humpubdok.

“Aku jurnal dulu ya. Kas pada biaya publikasi sebesar 300 ribu. Nih aku hitung kreditnya.” Galen mengetik kemudian mengarahkan layar laptopnya ke Naura.

“Hahahaha. Kalau pake excel kok otomatis, Len." Naura tertawa tak percaya pada tingkah Galen baru saja. "Lagian, aku kan nggak perlu tahu kamu nyatetnya gimana. Yang penting aku dapet duitnya.” Naura meledek sembari menengadahkan tangannya.

“Kamu nih dateng kalau ada maunya.” Galen memasang ekspresi kecewa yang dibuat-buat—yang membuat siapapun yang melihat ingin menertawakannya. “Nanti kuitansinya kasih ke aku ya.” Galen mengulurkan uang ke Naura.

“Makasih Galen Wardhana yang akhirnya mau ngitung kredit.” Naura tertawa lirih. "Meskipun semua orang kalau pake excel juga pasti ngitung kredit sih."

Galen hanya bisa menimpali ledekan Naura dengan senyum pasrah. Di depan perempuan ini, dia kerap kehilangan keinginan untuk membalas—meski dia tidak ingin perbicangan mereka cepat berakhir.

“Kamu tuh emang beneran nggak suka nggak pake kaos kaki ya, Len?” Naura berhenti tertawa menyadari Galen tidak melepas kaos kakinya meski berada di ruangan berkarpet.

Galen mengangguk sembari memamerkan kakinya yang berkaos kaki itu.

Naura menertawakan Galen yang bersikap seolah hanya dialah orang yang memakai kaos kaki di ruangan itu. Naura berpura-pura hendak menginjak kaki kanan Galen yang diangkat rendah dalam rangka memamerkan kaos kakinya itu. Galen bergegas menyingkirkan kakinya kembali ke posisi bersila sembari melempar senyum kemenangan yang selalu pas untuk terpasang di wajahnya.

“You know I’m just kidding right? Nggak mungkin lah aku nginjek kakimu.” Naura menimpali senyum kemenangan Galen.

“Yesss. But I love to play your game as always.”

Galen bertepuk tangan seolah mengingatkan Naura bagaimana pria ini selalu bertepuk tangan seusai melakukan hal-hal aneh bersama Naura. Satu per satu ingatan tentang Galen yang selama ini tanpa dia sadari selalu mengikuti permainan kecilnya berkelibat.

“Galen, di sebelah sana display radio.” Naura berpura-pura berlari dan Galen pun mengikuti gerakan Naura padahal keduanya hanya berlari di tempat. Keduanya menertawakan kebodohan mereka di Museum Telekomunikasi itu. Galen bertepuk tangan kedua kali kemudian menutup wajahnya yang tertawa lepas menyadari betapa anehnya mereka bagi siapapun yang melihat.

Atau di lain waktu.

 “Galen, tugas kuliahku banyak.”

“Sini bagi ke aku.” Galen membuka kedua tangannya seolah bersiap menerima lemparan tugas dari Naura seperti pemain basket bersiap menerima operan dari teman setimnya. Naura berpura-pura melempar tugas yang berwujud bola imajiner di tangannya, Galen berpura-pura berhasil menangkapnya kemudian bertepuk tangan. Keduanya tertawa seolah tugas Naura benar-benar berhasil dilempar ke Galen.

Galen yang kerap melakukan gerakan menulis di udara ketika melihat Naura menulis script untuk siaran. Galen yang melakukan tarian kecil yang aneh ketika Naura memberi tahu bahwa dia sedang senang. Galen yang  selalu membungkukkan badannya ketika Naura berbicara kepadanya dengan mendongakkan kepala. Ketika Naura merendahkan badannya karena meledek Galen yang membungkukkan badannya, Galen pun turut merendahkan badannya sehingga tinggi mereka sama. Galen yang selalu berpura-pura menghindar meski Naura tidak benar-benar hendak memukulnya saat mereka saling meledek. We are together in the little world we shared.
***

“Madha.” Kepala Naura menyembul dari belakang tirai. “Ini duit buat banner-nya.” Naura melangkah mendekat untuk duduk di sebelah Madha.

“Makasih ya.” Madha menyimpan uang yang diberikan Naura. “Udah pengumuman IP kan ya? Kamu berapa?”

 “3,56. Three point fifty six.” Jawab Naura mantap. “Kamu?”

Madha tersenyum. “Tiga tujuh.”

“Tiga tujuh puluh?”

“Tiga tujuh sembilan.” Madha tersenyum selayaknya orang lain tersenyum—senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya yang kerap hanya mengangkat sudut bibir saat tersenyum itu.

Naura melakukan gesture seolah ingin memukul sebab Madha sengaja meledeknya.

“Dan jurusanku lebih susah.” Tambah Madha lengkap dengan mid-way smile yang sebenarnya 'menyebalkan' itu. 

“Iya deh. Jurusanku kan asal bisa ngomong aja udah dapet nilai.” Naura menyalakan laptop yang dibawanya. Pandangannya teralih dari layar menyadari seseorang di sampingnya tertawa seolah sedang menonton Opera Van Java.

“Perasaan nggak lucu deh.” Naura mengerutkan kening. Madha masih melanjutkan tawanya.

“Aku becanda, Nau. Jangan dimasukkin hati. You know I’m the worst at communication.”

“Hmmmm.” Naura mengetuk-ketuk layarnya dengan telunjuk berharap laptopnya kembali normal. “Oh ya, Dha, laptopku error. Datanya bisa diselamatin nggak ya?” Naura menunjukkan layar laptopnya yang saat ini blue screen itu.

“Data tuh di-back up, Nau.” Madha menghentikan pekerjaannya mendesain kemudian menerima laptop Naura.

“Iya iya. Tapi sekarang bukan waktu yang pas buat komen soal back up deh, Dha.” Ujar Naura lirih. This insensitive guy :(

“Maaf ya kalimatku selalu nggak pas.” Mata Madha bertaburkan permohonan maaf.

“Aku nggak marah kok, Dha. Hehe.” Naura menggeleng.

“Lama-lama kamu nggak tertarik ngebenerin cara berkomunikasiku ya. Hahaha."

Pikiran Naura bergerak cepat mencari alasan mengapa kali ini dia tidak ingin mengoreksi. By time, I realized that I become less and less angry to his insensitivity as if I finally accept the fact that’s him the way he is. He has no bad intention, he’s just bad at delivering what’s in his mind.

Delapan bulan cukup kali buat akhirnya nerima emang kamu gitu orangnya. Hehe.Naura tertawa.

Jemari Madha berhenti bergerak di atas keyboard laptop Naura. Entah mengapa ada sudut di hatinya yang tersentuh oleh pernyataan Naura barusan. Menerima... Sebuah kata sederhana yang maknanya begitu dalam.

“Passwordnya bukan TheCarpenters kan? Atau YesterdayOnceMore?” Madha menunjukkan tampilan layar berupa kolom password setelah dia  berhasil memperbaiki blue screen di laptop Naura.

“Segampang itu ya nebak aku?” Naura terkejut sebab untuk kesekian kali Madha selalu seperti bisa menyusup ke dalam pikirannya. As if my mind is see-through for him.

Madha mengangkat kedua bahunya. “PIN hp kamu 0612?”

Naura mengangguk tak percaya. “Ini aku yang terlalu gampang ditebak atau pikiranku tembus pandang buat kamu ya?”

Madha tersenyum tak percaya. Dia sadar dirinya mengenal baik Naura tetapi tidak menyangka sedalam itu pengetahuannya tentang perempuan itu. Seolah jika ada ujian mata kuliah Naura Rayadinata, dia akan mendapat A dengan mudahnya. Perempuan yang kepadanya duniaku terbagi, perempuan yang tanpa dia sadari denganku dunianya sedikit terbagi. Mungkin begitulah pertemanan bekerja: sedikit demi sedikit kita akan berbagi dunia.
***

Siang itu, di awal semester kelima, Naura membuntuti langkah Bima yang berjalan ke perpustakaan. Menyadari sahabatnya itu pasti sedang ingin bercerita sesuatu, Bima bergegas menuju salah satu meja kemudian menarik kursi di sebelahnya untuk Naura.

“Mau cerita apa, Nau?” Bima tersenyum penasaran.

“Bim, siapa sebenarnya yang aku suka? Seseorang yang karena pertemuan yang kerap jantungku berdetak nyaman seolah berada di rumah atau seseorang yang di dekatnya jantungku bergetar seolah dia begitu spesial?”

Bima mengerutkan kening seolah berpikir keras.

“Kamu masih temen sekelasku di komunikasi kan ya? Belum pindah jadi anak sastra kan?” Bima tertawa iseng.

“Bimaaaaaaaaaa, aku ngundurin diri jadi tim suksesmu nyalon menteri humas BEM nih kalau kamu masih mau ngledekin terus.” Naura membalas tertawa iseng.

“Oke oke. Serius. Demi jadi menteri, aku jawab deh pertanyaanmu.” Bima masih saja meledek. “Kalau kamu harus kehilangan salah satunya saat ini, mana yang bakal kamu lepas?”

“Kenapa pertanyaannya jadi ke situ?”

“Seorang perempuan, Nau, harus memilih seseorang yang dengannya kamu paling rela sekalipun harus melepas hal-hal lainnya. Orang yang tidak kamu lepas di antara kedua pilihan itu adalah orang yang kamu sukai. Aku pikir kamu udah tau kok jawabannya.”

“Sok tahu nih, Bima. Aku nggak tahu beneran.” Naura meletakkan kepalanya ke meja seperti sangat kelelahan.

“Hahahaha. Kok aku merasa aku tahu ya, Nau.”

“Siapa?” Mata bulat Naura berbinar seolah akhirnya akan menemukan jawaban yang dicarinya selama berbulan-bulan.

“Aku. Mungkin. Di mana lagi kamu nemu orang yang paham kamu segininya, Nau?” Bima memasang wajah serius meski menahan tawa.

“Bimaaaaaaaa, serius dikit sih.”

“Ibaratnya bikin skenario film ya Nau, plot kamu sama aku itu akhir yang adil buat penonton. Kalau milih Madha, pendukung Galen kecewa dan sebaliknya.”

“Bima, kamu masih temen sekelasku di komunikasi kan ya? Belum pindah jadi anak sastra kan ya?” Naura tertawa terbahak-bahak. “Soalnya kalau kamu jadi anak sastra kok bikin ceritanya cheesy banget. Eh emang kamu cheesy banget sih, Bim.” Seperti biasa, permainan ledek-meledek mereka tidak berkesudahan.

“Oke. Serius. Madha aja gimana?” Bima memancing.

“Galen aja gimana?” Tawar Naura dengan nada becanda sebab menyangka Bima sedang bercanda.

Bima tersenyum penuh arti. Dia kemudian bangkit dari kursinya menuju rak buku komunikasi.  Naura bergegas membuntuti Bima yang masih tersenyum bak baru saja memenangkan undian.

“I guess you knew the answer already. Cuma masalahnya emang Madha sama Galen suka sama kamu? Jangan GR dulu dong, Nau. Siapa tau sutradaranya maunya kamu sama aku.” Jari Bima menyusur deretan buku.

“Bimaaaaaaaaaaa, aku pengen mukul kamu nih.” Naura mengangkat tangannya berpura-pura hendak memukul lengan Bima.

“Bilang saja suka sih, Nau. Pake pura-pura mukul segala.” Bima tertawa menyadari kalimatnya sangat cheesy. “Udah ah. Malu aku sama becandaanku sendiri.” Bima menarik buku etika komunikasi dari rak buku kemudian bergegas menuju kursi tempatnya duduk semula. Naura tertinggal di antara buku-buku bersama pertanyaan yang mengganggu liburan semester genapnya itu. Siapa yang aku sukai? Tetapi bukankah belum tentu mereka menyukaiku? Huh aku bimbang atas hal yang sungguh penuh ketidakpastian ini.

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE