-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

12 Jul 2012

AS RIGHT AS RAIN

  • July 12, 2012
  • by Nur Imroatun Sholihat
Caranya tersenyum barang dua detik selalu nampak penuh kebahagiaan. Saat dia malu, telinganya memerah. Caranya mengedipkan mata selalu tak sengaja membuatku refleks menyadari keberadaannya. Saat tak sependapat dengan sebuah argumen, matanya berkedip sangat cepat. Saat bernyanyi, dia memilih lagu-lagu dengan nada rendah. Saat terdiam, bola matanya berlalu lalang sangat lambat. Saat dunia berputar begitu cepat, dia melangkah dengan ritme yang telah dia tetapkan sendiri. Aku tahu semua hal-hal itu tanpa pernah benar-benar berada di dekatnya.

Sejak awal, aku tak pernah sengaja menyimpan ingatan tentang hal-hal sederhana darinya. Dia yang menikmati hidup dalam iramanya sendiri. Dia yang mempunyai senyum dan tawa yang sangat khas. Dia yang memilih diam ketimbang berkata hal-hal yang tidak menyenangkan. Dia yang menolak untuk berkeluh kesah terhadap hal-hal kecil dan sepele. Dia yang sangat natural tanpa menyadari keistimewaannya. Dia adalah keajaiban bersahaja di putaran dunia yang penat.

Benar saja, caranya menerjemahkan keajaiban di setiap jejak kakinya adalah sesuatu yang selalu ingin ku liat setiap hari. Setiap kali dia melangkah, ada sebuah semangat berpijaran yang dia usung. Detik-detik di mana dia bercanda dan tertawa, dia seperti orang terlucu yang pernah ku lihat. Seolah seluruh dunia begitu semarak ketika dia tertawa girang, hatiku pun demikian. Sekali lagi, dia begitu mengerti bagaimana cara selalu ceria di tengah pusaran badai kehidupan.

Ketika orang berteriak-teriak tentang hujan yang tak kunjung reda, dia di seberang sana tersenyum sembari memandang langit. Di tengah gelombang orang-orang yang terburu-buru ingin pulang, dia menjadi satu-satunya yang membiarkan hujan menari-hari di pelataran. Ketergesa-gesaanku hilang begitu melihatnya. Aneh, caranya menikmati hidup benar-benar menakjubkan. Satu-satunya yang tidak menakjubkan justru karena dia tidak pernah menyadari keberadaanku di seberang hujan. Bagaimana bisa dia tidak menyadariku yang selalu memandangnya dari kejauhan. Sementara, hujan terus berdansa lincah mengajak rumput mengikuti ritme ketukan air yang berjatuhan. Mungkin seperti membiarkan hujan menari, dia juga membiarkanku mencuri pandang kearahnya. Sepertinya, dia sadar aku ada di sana tetapi memilih untuk tak terusik.

“ Kalau nanti dia sudah lulus, siapa lagi yang akan membuatmu sabar menunggu hujan?” Sahabatku bergurau.

Mungkin benar aku tidak pernah menyukai hujan. Bukankah dulu aku begitu kesal saat hujan turun? Bukankah sebelumnya aku berjalan dalam arus dunia yang dengan erat menarik-narik lengan? Bukankah sebelumnya tak ada seorang pun yang bisa membuatku menentukan ketukan hidupku sendiri? Bukankah sebelumnya aku tidak pernah mengagumi seseorang seperti ini?

“ Dia mengubah hidupku bahkan tanpa dia tahu” Jawabku sembari menundukkan kepala.

Mengubah hidup, mungkin itulah esensi perasaanku kepadanya. Aku mengingat setiap usahanya membiarkan dunia berlarian tanpa berbawa lari. Aku merekam setiap kejadian kecil tentangnya. Dan hujan yang memisahkan kami tetap tak mampu menghalangi ingatanku tentangnya dan hujan. Barangkali, meskipun dia nampak sebagai orang yang teramat tulus menerima hujan, aku adalah orang yang paling menikmati hujan. Hujan yang memagari dia dengan aku. Hujan yang bak dinding kaca yang berembun--aku masih melihatnya walau samar. 

Sedari awal, aku tahu aku hanya ingin mengikuti caranya dalam menikmati hidup. Tetapi sekarang, mungkin tidak. Aku ingin mengikuti setiap hal kecil tentangnya. Karena semenjak itu, aku selalu mengingat hal-hal sederhana tentangnya. Those simple things, this simple feeling.
-------------------
(Bogor. Air berjatuhan menginspirasi cerpen ini. Beberapa jam menjelang ujian PBJ)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE