-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

7 Jan 2013

ELEGI JALANAN (2)

  • January 07, 2013
  • by Nur Imroatun Sholihat
Begitu banyak waktu yang aku butuhkan untuk sadar bahwa, bukan teka-teki perasaannya yang memilukan hatiku, tetapi ketidakhadirannya di dunia. Setahun setelah dia pergi, guratan nostalgia tentangnya tak kunjung sirna. Hampir setiap tempat yang memutar memori tentangnya membuat penglihatanku berlapis air mata. Setahun ternyata telah membuatku mengikhlaskan pertanyaan-pertanyaanku tidak terjawab.

Setahun sudah serpihan hatiku yang berserakan tak kunjung bergerak untuk merapikan diri. Aku yang begitu ingin beranjak dari memori masa lalu tentangnya tak bergerak sejengkal pun. Dia telah meninggalkan jejak-jejak menganga yang memenuhi luas hatiku. Saat cairan merah pekat menetes dari tubuhnya, aku begitu ingin bertanya tentang perasaannya. Kini aku mengerti mengapa aku kehabisan kata di depannya. Lebih dari sekadar tak terjawab, aku khawatir kalau dia tidak lagi berpijak di bumi.

Setahun lamanya, bayangan lelaki itu seolah hadir dan tersenyum padaku. Irama langkah kakinya yang khas seperti menghentak di sampingku. Sorot matanya yang tenang seperti sedang menatap tanpa henti tepat di hadapanku. Suaranya yang pelan saat bicara padaku seperti berkeliling di telinga. Senyum 3 detik miliknya menggaung dalam angkasa rayaku. Serupa dengan senyum dalam napas terakhirnya, senyum yang membayangi langkahku setahun ini menyisakan ribuan pisau menancap di hati. Batinku kian berserakan karena melihat bayang-bayang tubuhnya seolah tergeletak lagi di jalanan. Tepat setahun yang lalu jalanan ini menjadi saksi saat politik menyingkirkannya. Setiap aku melintas, aku tak punya pilihan lain selain membiarkan mataku melakukan usaha terbaik untuk tidak menangis. Bukankah seharusnya aku sudah lelah mengulangi tangisan?

“ Aku selalu berharap kamu terlahir sebagai aktivis.” Ucapnya kala itu.

Setelah mengucapkan angan itu dia memutuskan berpisah denganku. Sekuat tenaga ku tahan kegetiran yang membekap. Ucapannya menghentikan laju darah sejenak tetapi aku memutuskan untuk tersenyum seperti biasa. Jika saat itu aku tidak tersenyum, mungkin aku tak punya lagi kesempatan untuk menyampaikan rasa terima kasih atas kehadirannya dalam hidupku.

Hatiku kebas menahan air mata. Lututku bak kehilangan tulang yang menyangga. Mungkin baginya, kalimat itu terdengar sederhana. Dia tak pernah tahu bagaimana sulitnya aku mencoba mendampingi kecermelangannya. Susah payah aku mencari ritme yang sama dengannya agar terlibat dalam rasa perihnya tiap melihat ketidakadilan. Aku selalu ingin turun ke jalanan sepertinya. Sejak bersamanya, diam-diam aku membaca buku-buku favoritnya. Aku mendengar setiap sudut opininya terhadap hal-hal yang menyita perhatiaannya. Aku mengagumi setiap detail dalam dirinya bahkan waktu diamnya. Aku tidak ingin kehilangan kebiasaan-kebiasaan itu sedikit pun.

Dia adalah keajaiban semarak di duniaku yang hambar.

Hari ini aku melintasi jalan di mana setahun yang lalu gas air mata memandikannya. Aku masih mengingat jelas bagaimana jalanan menghentikan semua suara lantangnya terhadap pemerintah. Suara desing peluru begitu girang berlompatan di telingaku. Aku seakan melihat kembali darah yang menetes dari badannya lalu mengering oleh terik matahari. Aroma darahnya begitu lekat di hidungku.

Suatu saat, dia pernah menawarkan padaku apakah aku akan melarangnya meneruskan kebiasaan lamanya. Bukanlah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, tetapi jantungku melompat-lompat mencari kata yang tepat untuk dikatakan. Jika jalanan adalah hal yang selalu membuatnya begitu bahagia, yang mengobati semua lukanya karena idealisme yang bertarung dengan realita, bisakah aku memintanya berhenti?

Sebagai perempuan biasa, hatiku berbisik lirih memohonnya menyerah saja.

“Kalau aku melarang, apa kamu akan berhenti turun ke jalan?” Aku mencoba setenang mungkin menanggapi pertanyaannya.

“Akan aku pertimbangkan. Entah kenapa hatiku terus berkata tidak. Kamu tahu hatiku perih terhadap kesewenang-wenangan. Mungkin benar, idealismeku berdiri di atas perasaan apa pun”

Bahkan saat dia menjawab demikian, aku masih tersenyum. Jauh lebih menyenangkan mendengar bahwa jalanan lebih penting daripada keberadaanku ketimbang ketidakhadirannya di dunia.

Aku berterima kasih pernah mengenalnya. Mungkin jika tidak, aku masih menjadi perempuan yang sibuk dengan diri sendiri di putaran dunia yang begitu penat. Seandainya tak pernah bersama dia, aku selalu merasa negeri ini baik-baik saja padahal tidak. Jika dia tak pernah ada, mungkin aku merasa tidak banyak hal yang bisa aku lakukan di dunia. Aku berterima kasih, dia menitikkan air mata di pangkuanku saat terakhir kami berpisah. Tangis yang baru pertama aku lihat itu, aku bahagia menjadi orang yang menghapusnya. Meskipun perih, mendampingi setiap waktunya yang berpacu dengan pergulatan idealisme adalah momen terbaik hidupku.

Pernahkah dia tahu, aku rela dia tak bersamaku asal dia tetap ada di dunia untuk berteriak lantang seperti biasa. Negara akan selalu merindukan sosoknya yang nekat melawan dunia. Aku rela bila kelak dia bahkan berkata tidak pernah mencintaiku. Asal dia ada, mungkin hatiku akan baik-baik saja.

“Kamu sibuk berbicara mimpi, aku begitu terfokus pada aksi. Kamu menganggap negeri ini baik-baik saja. Aku lebih sering berpikir betapa kejamnya negeri ini. Bersamaku pasti tidak menyenangkan bukan? Mungkin sebaiknya kita tidak bersama.” Dia tak membalikkan posisi badannya untuk menatapku. Dia berlalu begitu saja.

Sebaiknya kita tidak bersama, harapnya kala itu. Tak apa kalau begitu. Aku akan baik-baik saja meskipun dia tak akan pernah bersamaku. Sekalipun dia tak menjawab sedikit pun pertanyaanku, aku tak akan terpenjara lara selara ini. Aku sadar, hidupmu saja cukup.

Tuhan, Aku begitu ingin menemuinya. Di belahan dunia mana dia berpijak?
-------------------
Read also: Elegi Jalanan

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE