Kau mendorong rakit bambu yang kau tawarkan padaku berlayar ke tengah telaga kehitaman yang tak memantulkan cahaya. Setelah membiarkanku terapung, kau bergegas menyusuri anak tangga jembatan yang menjauhi telaga. Aku mendengar bisik langkah kakimu berderap di jembatan kayu itu. Temalinya berderitan menggenggam titianmu melayang di cakrawala. Langkah kakimu seperti suara denting saron barung, satu persatu pilahan kayu antri meledekku diam-diam. Angin sunyi sementara kau tak memberiku kayuh. Di tengah telagamu aku bertarung dengan air yang menyelinap di sela buluh rakitku. Kau telah kembali berpijak di tanah, sementara aku seolah menunggu rakitku tenggelam.