-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

10 Jun 2013

LUGU

  • June 10, 2013
  • by Nur Imroatun Sholihat
Kau seperti mesin ketik di pagi kita perdana bersua. Berkali-kali engkau resah beralih-alih sebelum dia merampungkan cerita. Sementara aku seolah kertas-kertas yang setia mendengar tutur renyahnya. Sahabat itu tak sempat memperkenalkanmu, berlalu tanpa sadar tengah menjinjing takdir ke hadapku. Kita berdua tak saling menyapa seolah telah sepakat bahwa pertemuan sekilas tak sengaja akan menghilang bersama debu-debu yang tertiup pagi itu.

Kita setuju membubuhkan titik sejak gerimis memaksa jejak pertama berpisah.

Lima hari sejak kita berpapasan 180 detik, dia tengah menghela kata-katamu. Kali ini dia mengenalkan tulisanmu padaku laksana menyodorkan baris-baris takdir. Aku bertaruh tentang kemungkinan tulisanmu melintas begitu saja dari batin, seperti pertemuan yang lalu.

Mungkin huruf-huruf berjajarmu sekadar sebuah koma.

Barangkali aku lupa menggelar kemungkinan lain tentang perjumpaanku dengan tulisanmu. Kau merajut sendiri dunia yang lugu. Alfabetmu adalah setangkup warna-warna berpendaran. Ringan tanpa beban--merdeka seakan makhluk mungil dalam ayunan. Tulisanmu menyuguhkan selaksa koma-koma yang tak berkesudahan. Lalu, titik yang kita setujui menjelma sepihak menjadi titik koma.

Kali ini kau tak lagi berlalu-lalang seperti mesin ketik belaka. Kau nampak serupa tinta yang tak henti menggores butir-butir kata di carik kertasku. Sepasang pertemuan telah membenturkanku pada keluguan duniamu. Kala itu kau terlihat lugu, tetapi hari ini kau adalah keluguan terbaik yang pernah ada. Seandainya saja saat itu aku tahu secarik hadiah sedang melintas di hadapku, mungkin aku akan berusaha keras menyapamu. Bila saja engkau tak berpikir ini ganjil, mungkin aku telah berlari ke arahmu dan mengatakan tulisanmu menambatkan hatiku.

Aku jatuh hati pada kegigihanmu menggores makna dalam secangkir sastra menawan. Sajak menyulapmu dalam kasta yang berbeda dari lelaki mana pun di dunia. Tulisanmu tak usai membuat jantungku berdebar riang. Ada rindu yang menyelinap di sela denyut tak henti. Sejak detik ini, aku tak punya pilihan selain jatuh hati pada duniamu yang lugu. Dan satu-satunya hal yang bisa merahasiakan percepatan detak jantungku adalah senangtiasa mengejamu.

Surat untuk Bait yang Dirahasiakan.
Wahai perempuan yang sekalipun ribuan kesulitan menghampiri tetap tak retak, aku akan menulis puisi-puisi sembari penantian. Namamu adalah titik-titik yang tak ingin tergesa ku isi, aku menunggu Tuhan mengisinya untukku. Saat kau berdiri di hadapku dan bertanya haruskah kau membalas sajakku, aku akan menjawab “Kau tak perlu menulis, kau hanya perlu menjadi inspirasi”.

Sengaja aku berdoa semoga Tuhan mengisi titik-titik di ujung takdir dengan namaku. Aku ingin bertemu dengan mesin ketik itu lagi--sekali lagi, dan aku tak ingin menjadi lembar kertas. Di setapak masa kita tak sengaja berpapasan, aku ingin berdiri di depanmu sebagai bait yang dirahasiakan. Aku berharap doaku berjingkatan ke segala penjuru, menggaung ke sudut hatimu.

Namun, aku tak ragu jika Tuhan memberimu bait yang lain. Bahkan ketika titik telah mengusaikan segala kesempatan, aku tak sedikit pun menyesal. Aku bahagia ketika takdir mengatur kita berpapasan. Bukan menyerah. Hanya aku merasa takdir telah berlaku terlalu baik dengan menghadirkan karyamu--untuk mengagumi pesan yang kau selipkan dalam larik-larikmu. Biar perasaanku menjelma bait yang ku rahasiakan darimu. Aku tak akan bersedih sekalipun nanti engkau tak pernah tahu.

Karena bagiku takdir merahasiakan perasaan terasa begitu adil. Seadil ketika tinta bertapa dalam kertas, bahkan saat ini, aku masih bertapa dalam duniamu yang lugu.
-----------------------
 image source

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE