SINGGAH 3
- July 16, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Aku ingin membencimu sejak menyadari betapa istimewa perempuan itu bagimu. Hanya saja kau yang ku benci adalah orang yang paling ku cintai. Kau tak pernah singgah bahkan untuk sekejap memandang ke arahku. Aku menyerah tetapi kau tak boleh menyerah.
"Laramu hanyalah persinggahan sejenak bukan? Bahkan
ketika kau tidak ingin membaca sekeranjang pesanku, terjagalah." Hatiku telah berteriak berkali-kali meskipun tak ada kata terucap.
Aku
telah berjam-jam terpasung di secarik kertas bersama perpindahan matahari ke sudut
lain. Ku benamkan kertas itu dalam keranjang pesan yang tak satu pun kau
ketahui. Kau masih memenjara segenap keraguanku akan esokmu. Karenanya, tak
putus aku menghitung udara yang kau hirup.
Perempuan
itu menyandarkan telapak tangannya di bahuku. Bagaimana mungkin langkah kakinya tak
sedikit pun bergemerisik di telingaku. Betapa sibuknya aku mengawal setiap helai
napasmu. Bayangannya telah mematung di belakangku. Telapak tangan itu berkisah
tentang remuk redam hari-harinya tanpamu. Tatapannya berdarah-darah. Derai yang
begitu sarat gagal terbendung
oleh sudut
matanya.
Dia tersenyum getir seperti lelah tetapi tak ingin menyerah menangisimu.
Kala
dia tak putus berderai, aku masih saja terpaku.
Batin
berceceran. Aku tidak pernah sempat memungutnya kembali. Aku kehilangan arah bahkan untuk sekadar merasa. Dalam ketidakutuhan, ragaku tak mampu lagi
menerjemahkan perasaan. Duniaku begitu kelam ketika kau tersengal-sengal bernapas.
Aku
takut usaha sekuat tenagaku membentengi air mata tak akan bertahan lama. Aku
takut air mata merobek janjiku untuk menyerah.
Segenap suara menghening.
Mentari
telah bersembunyi kala kau tak lagi menarik udara. Engkau pulang sebelum aku berpikir
untuk melangkah bahkan sejengkal saja. Engkau pergi
sebelum menyapa pisau-pisau itu. Jarum-jarum dibangunkan dari lenganmu. Butir darah hening dalam urat nadimu. Ku rapikan pikiran yang berserakan melihatmu
tak hanya sekadar pasrah. Wajahmu membiru, batinku memucat.
Aku terseok-seok keluar dari ruangmu. Ketika tak lagi mendengar riuh hela
napasmu, aku
kembali mendengar besi-besi
tua hingar
dalam laju yang tak henti-henti.
Dalam ketiadaan
denyut nadimu, ku
mendengar riuh-rendah langkah tergesa-gesa pengharapan. Tanpa
lengkung lazuardimu melingkupi putaran bumiku, bersahutan
gelegar di luar sana. Kali ini mataku sungguh-sungguh perih. Dalam isolasi
kerumunan pengharapan, koridor panjang ini benar-benar berkabut. Keranjang
pesan di samping pembaringanmu tak luput dari kabut itu.
Berkelebat memori tentang langkah kaki yang berdentum dari kejauhan, tentang senyum percaya diri, tentang jari-jari tangan yang tak habis-habisnya melambaikan sapaan ramah, tentang wajah yang berbinar seolah dunia tak bisa mengganggunya. Dengan memori itu aku berdiri di tepi masa tersadar kau yang pergi adalah kau yang mungkin di masa depan sekalipun tidak terganti.
Aku tak tahu pasti siapa yang paling berkabut sore ini, perempuan itu atau aku. Tak henti aku bertanya, siapa yang akan lebih kerap berziarah untuk bertemu denganmu. Aku sungguh khawatir jika nantinya aku adalah orang yang hari-harinya paling memucat setelah kepergianmu.
Singgah
----------------------------------------
image source: here
0 Comments:
Post a Comment