ALIS
- December 25, 2013
- by Nur Imroatun Sholihat
Gitar di punggungmu seolah siap
melangkah tetapi tanganmu masih menggenggam jari-jariku terlalu erat. Aku tak kuasa
melangkah sejengkal pun guna membiarkanmu menuju kereta. Lalu ku tersenyum melambaikan
selamat tinggal. Sejujurnya saat ini aku berkhayal menyusup dalam darahmu melalui pori-porimu.
Aku ingin ikut serta ke mana pun dirimu berpindah. Tetapi aku memilih tinggal
sembari diam-diam mendoakanmu. Aku ingin menjadi seseorang yang tegar untuk
cita-citamu.
“Kita butuh ruang untuk bergerak masing-masing.
Kita butuh spasi untuk menjadi bermakna.” Aku menepuk bahumu. Batinku luka
dalam rahasia. Kau juga pasti tahu senjaku membisu seketika.
Aku ingat impian yang kau kejar.
Dengan mata berbinar-binar kau mengalunkan lagu yang kau tulis. Kau menjalaninya
seolah inilah yang membahagiakanmu. Maka tak heran gitar di punggungmu lebih ingin kau jinjing ketimbang bawaan lainnya.
Ketika kau memasuki gerbong
lokomotif otakku memutar kenangan denganmu, sahabat hati. Meski telah saling
mengenal lama, tidak sedikit pun perasaanku berkurang. Seperti biasa punggungmu bahkan
bayanganmu tetap menawan. Kau cinta pertama yang akan menjadi selamanya. Bahkan
saat kita telah bersama bertahun-tahun, batinku masih sama. Kau memesona
tanpa berusaha terlihat manis. Kau lucu tanpa membuat lelucon dan candaan. Suaramu
menggaung tanpa berteriak. Kau bersinar bahkan saat tak tersenyum. Kau tahu persis
apa yang kau inginkan untuk hidupmu. Saat menunjukkan talenta—bukan karena ingin
terlihat menarik, kau melakukannya karena menyukainya. Semangatmu menyala-nyala
seolah tiada satu pun bisa menghalangimu.
Kau seperti puisi Sapardi Djoko Damono,
sederhana saja tetapi teramat indah. Kau memiliki pesona yang berada di dimensi
lain. Hal-hal kecil seperti alis pun, seperti telah direncanakan dengan baik. Untuk ke sekian kali ku katakan kau adalah
orang yang terlihat menawan begitu saja. Tak akan pernah ada kata bosan untukmu,
sedikit pun.
Kau tahu mengapa aku suka langit di sore hari?
Ada garis lengkung di langit yang menyerupai alismu. Di mana pun kau berdiri, aku
seperti melihatmu di hadapanku. Ke mana pun aku bergerak, alis itu mengikutiku. Aku benar-benar gila: bentuk alismu saja ku suka.
Kereta berjalan selambat aliran darah
di pembuluh. Tetapi kesadaran untuk menjadi perempuan yang melindungi mimpi-mimpimu
datang lebih cepat. Dalam duniaku membuatmu bersayap adalah mimpi terbesar.
Akan ku tempuh perjalanan sejauh apapun untuk menjadikanmu sampai di tujuanmu. Aku akan menunggumu bersama rasa penasaran takdir macam apa yang akan menghampiri
kita. Toh kita berbagi udara yang sama. Saat berlari, kau akan berpeluh rindu untukku
bukan?
***
Sore ini aku kembali berdiri di
stasiun ini. Sebentar lagi keretamu akan tiba. Hal pertama yang ingin ku lakukan adalah menyentuh alis yang
ketika tersenyum seperti melebarkan sayap senyummu itu. Aku pasti akan melihat alismu dari
jendela kereta dan seketika mengenalinya.
Kereta itu kini ada di hadapanku.
Alismu menyembul seperti menyapaku. Aku yakin dunia pasti berjingkrak gembira saat kau terlahir.
Senyummu saja menggempakan hatiku. Mengapa
kau harus memiliki senyum malu-malu dan alis indah itu?
Kau menghampiriku dalam senyum
manismu. Ini seperti cinta yang aku impikan bertahun-tahun sebelum bertemu
denganku. Cinta seperti ini dengan orang yang seperti ini. Dia yang setiap
detail kecilnya ku suka. Detik ini dia ada di hadapanku dan membuatku hampir pingsan
karena auranya. Kau benar-benar gila: kau memesona apa adanya.
--------------------
image source: here
--------------------
image source: here
0 Comments:
Post a Comment