KONSTELASI
- February 02, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Ketika bersama jarak ku pandang,
kau bak mengikat bintang-bintang dalam rasinya. Selain menyusun konstelasi, aku yakin
bintang juga menyusun
namamu. Di malam syahdu, pikiranku digelantungi
bintang-bintang yang menari lambat dalam alunan akustik. Aku tak putus terkesima pada sepotong denting yang menaburkan kedamaian di sekelilingku itu.
Seperti rasi bintang waluku, kau menunjuk mata angin di tengah bentangan kain
hitam. Aku melangkah dengan petuah arah darimu. Karena
rasi itu, aku mengetahui letak kau berdiam. Aku mendekat bersama rasa penasaran susunan huruf yang menyusun takdir kita.
Namun ketika rasi itu ku hampiri, dia bukanlah suara akustik yang
beriringan denganku. Kau tidak sesayup yang aku dengar dari kejauhan. Suaramu
terlalu gaduh untuk hidupku yang sepoi-sepoi. Karena gema seharusnya lirih, pasti kau bukanlah gema dari doa yang ku syairkan.
Aku adalah gitar
dan kau biola. Sekalipun kita beriringan, orang akan lebih mendengarmu. Mereka
terhanyut oleh kehalusan melodimu lalu mengabaikan bahwa ada suara lain di sana.
Takdir mematahkan jalan kita. Aku
tak mungkin berdiam pada nadamu yang membuatku kesepian.
Kau laksana bintang yang sekalipun di luar rasi mudah dikenali. Sementara
aku seharusnya berjalan sendiri agar melodi petikan gitarku terdengar. Ternyata suratan menuliskan mantra-mantra pemisah yang tinggi menjulang tepat di hadapan kita.
Sudah ku lanjutkan
saja alunan. Dengan begitu dunia akan mengingatku walaupun sedikit.
-------------------------
0 Comments:
Post a Comment