DEMAM DUNIA TANPA KOMA
- July 02, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
(Orang-orang lagi demam piala dunia, saya malah demam Dunia Tanpa Koma. Hihihihi. Spanyol udah gugur sih, saya sudah tidak punya harapan *tsaaah.)
Sebenarnya dulu banget saya udah pernah terkena demam DTK tetapi sekarang saya terjangkit lagi. Kejadiannya bermula saat saya menceritakan DTK kepada teman kos saya, Dyan. Awalnya saya ragu dia mau nonton. DTK ceritanya agak berat dan temanya juga nggak umum. Buat saya yang suka dunia jurnalistik sih keren tapi saya nggak yakin orang yang nggak tertarik dunia publisitas berita menganggapnya menarik.
Sebenarnya dulu banget saya udah pernah terkena demam DTK tetapi sekarang saya terjangkit lagi. Kejadiannya bermula saat saya menceritakan DTK kepada teman kos saya, Dyan. Awalnya saya ragu dia mau nonton. DTK ceritanya agak berat dan temanya juga nggak umum. Buat saya yang suka dunia jurnalistik sih keren tapi saya nggak yakin orang yang nggak tertarik dunia publisitas berita menganggapnya menarik.
Ternyata Dyan tertarik untuk
nonton. Mungkin dia pengen tau kali ya kenapa saya yang nggak suka nonton
sinetron mau nonton serial DTK. Hasilnya? Dia keracunan. She loves this serial
(maybe) more than me. LOL.
Jadi, apa sih sebenarnya yang
bikin saya dan Dyan kena demam DTK?
Alasan sederhananya adalah
kualitas akting dan kekuatan ceritanya. Kami harus banget mlongo liat akting
Dian Sastro, Tora Sudiro, dan sederet bintang papan atas lainnya. Beneran nggak
nyadar deh kalau mereka lagi di depan kamera—saking naturalnya akting mereka.
Setelah ditelisik lebih lanjut ternyata sang penulis skenario mengharuskan
Dian Sastro dan Tora Sudiro yang memerankan kedua tokoh utama. Dian yang sebelumnya berjanji untuk tidak bermain sinetron pun luluh membaca skenarionya. Tora Sudiro bahkan setuju ambil bagian sebelum membaca skenario saking kagetnya dengan keputusan Dian bermain sinetron.
Reputasi sebagai pemain film
dengan akting terbaik ternyata tidak cukup. Para pemain tersebut harus ikut
‘kerja’ di majalah Tempo untuk mendalami dunia jurnalistik. Fauzi Baadilla harus berkali-kali datang ke kantor Tempo guna memoles aktingnya seolah dia benar-benar seorang wartawan andal. Dian Sastro sampai
bertanya buku-buku apa saja yang harus dia baca agar dapat memerankan tokoh
‘Raya’ dengan baik. Sebuah totalitas yang mencengangkan.
DTK sendiri menceritakan tentang
seluk beluk dunia wartawan majalah Target, sebuah majalah Mingguan terbesar di
Indonesia. Satu persatu konflik muncul. Persaingan Majalah Target dengan Harian
Kini, usaha membongkar kasus jaringan narkoba, persaingan antarwartawan, sampai
datangnya pemimpin yang merusak keharmonisan kantor. Relasi antartokoh juga
menarik dicermati. Cinta segitiga Mas Bayu-Raya-Bramantyo beneran bikin
perasaan teraduk-aduk. Ditulis langsung oleh wartawan Majalah Tempo, Leila S.
Chudori. Kemampuannya menceritakan dunia kewartawanan tidak perlu diragukan
lagi. Saya juga suka kekuatan karakter yang dibangun. Tokoh-tokoh itu seakan-akan
sungguh hidup. Tidak ada satu pun tokoh yang sempurna baiknya atau
jahatnya—realistis sekali.
Magnet kedua bernama Mas Bayu.
Saya nggak ngerti ya darimana Mbak Leila mendapat ide karakter tokoh kepala
divisi Kriminal dan Investigasi Majalah Target itu. Yang jelas Mas Bayu yang
diperankan oleh Tora Sudiro itu seolah hidup di dunia nyata dan datang untuk
menjadi tipe ideal setiap perempuan. Seseorang itu selalu membuat kita merasa
terlindungi. Sebenernya tokoh Mas Bayu ini jauh dari sempurna tapi saya sama
Dyan kok kesengsem ya. Apa ya yang bikin kami terkena Mas Bayu fever? Mungkin
karena dia bisa bikin orang betah ada di sampingnya. He does something we called as "ngemong". Yeah, buat
menjawab pertanyaan ini kayanya harus nonton sendiri serialnya kali ya.
Poin penting lain dari DTK adalah
penggarapan yang setara dengan penggarapan film. Set kantor Majalah Target
misalnya, adalah ruangan yang disewa khusus dan disesuaikan dengan kantor kerja
sebuah majalah. Semua pemain sekalipun figuran adalah nama besar di dunia film.
Bugdet satu episode saja berkisar 700-800 juta.
Jelas saya nggak segan-segan
memuji penulis skenario dan seluruh jajaran yang terlibat dalam pembuatan serial ini
karena telah menghadirkan tayangan berkualitas seperti ini. Jadi gimana saya
mau move on dari serial ini coba? Padahal sekarang udah tahun 2014 dan serial
itu tayang tahun 2006. Mengingat dulu pernah dijanjikan ada sekuelnya, saya kok jadi berharap ada lanjutannya ya. Atau setidaknya ada tontonan yang semenarik ini lagi di layar TV gitu.
Saya dan Dyan masih terjebak
dalam Mas Bayu fever--entah sampai kapan. Dyan bilang, Mas Bayu fever akan
berakhir ketika Mas Bayu versi kita masing-masing sudah hadir di kehidupan
nyata. Ah, so cheesy but true :)
----------------------
image source: Sinemart
read also: Dunia Tanpa Koma
0 Comments:
Post a Comment