RESIDU MEMORI
- July 12, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Sanggupkah manusia melepaskan sandaran batin tanpa sedikit pun berduka karenanya?
Kami dipertemukan oleh sebuah perkumpulan. Jiwaku tergetar semenjak
baru mendengar susunan huruf namanya saja. Dia adalah kembang gula di sela percakapan siapa pun. Maka sebelum kami bersua aku menerka hatinya nan semanis karamel. Keinginan berdiri di hari perkenalan membuncah. Anehnya pintalan waktu bergulir begitu cepat
dan tibalah masa kami bersisihan. Meskipun
telah sibuk mempersiapkan diri guna hari perjumpaan, di hadapannya aku seolah
tidak siap sama sekali.
Seseorang itu memiliki pikiran yang
selaras denganku. Hari demi hari berjajar tak lain memastikan keutuhan hatiku
untuknya. Mereka berbisik-bisik tentangnya dan aku terpaku. Bagaimana mereka
mampu berbisik-bisik menceritakannya? Aku kehilangan kata. Aku terpasung menyusuri
detak jarum jam dalam pesonanya. Aku takut kehabisan waktu.
Dia bahkan bukan Rumi ataupun Kahlil, mengapa dia mengukir sajak
di lembaran hari-hariku?
Kami bersama. Aku berterima kasih
Tuhan menambatkan hati kami pada jarak yang tiada. Kemudian kami berpisah. Aku
bisa mengingat setiap detail pengalaman yang ku jalani bersamanya. Aku
mengenang selamat tinggalku kepada mimpinya yang memisahkan belahan bumi hati kami
berpijak.
Saat menuturkan sebuah kisah,
apakah kita yakin tiada satu pun yang tertinggal? Pengalaman batin, rasa, suhu,
tekanan udara, angin, atau bagian dari kisah yang luput
tidak terceritakan, sengaja tidak diceritakan, atau karena keterbatasan kita dalam
mengingat segala kejadian—bisakah semua rapi terceritakan? Agaknya aku sanggup menceritakan dia dengan memastikan hanya sedikit sekali hal yang tertinggal. Tentu karena kita
hanyalah manusia biasa tidak mungkin mengisahkan sesuatu tanpa lupa dan alpa.
Tetapi aku ingat setiap serpihan-serpihan kejadian tentangnya begitu mendetail dan
lengkap.
Mulanya ku kira jika berpisah
dengannya, aku menjelma seonggok manusia lemah dan kehilangan arah. Aku akan mengunci kamar dan enggan menemui
siapa pun. Aku terpuruk dan tiba-tiba menjadi puitis dalam sajak hitam. Ternyata
perpisahan tidak melulu lara.
Setelah itu hidupku tetaplah
berjalan dalam bayang dia duduk di sampingku. Dia seperti petasan di hatiku--meledak-ledak
menjadi serpihan kecil yang menyebar di seluruh mimpiku di setiap harinya. Sebagian besar orang tampak menderita karena
ketidakmampuannya berpaling dari masa lalu. Namun, aku menikmati ketidakbisaanku
memindahkan hatiku darinya.
Menjalani masa lalu dengannya
adalah anomali dari segala selamat tinggal. Aku sedih berpisah langkah tetapi
aku akan sungguh nelangsa jika tidak pernah dipertemukan dengannya. Aku jatuh
hati padanya tanpa sedikit pun lara di dalamnya. Aku tidak segaris pun tergores
luka selama berdiam dalam residu memori tentangnya. Sanggupkah manusia
melepaskan sandaran batin tanpa sedikit pun berduka karenanya? Setelah 6 tahun
berlalu, aku masih tetap mengiyakan. Sepertinya dia tidak pernah ke mana-mana
dan mengendap menjadi residu memori permanen yang sepenuhnya manis di pikiranku—begitu saja.
----------------------------------
image source: here
0 Comments:
Post a Comment