D
- August 03, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Di telinga kita, saban orang menjinjing musik masing-masing dan
melintas. Ada lagu berirama mayor, ada juga
minor. Terdapat bunyi yang gaduh, terdapat pula yang sayup-sayup. Dan di antara
semua kidung itu, terselip suara yang paling mudah kita kenali. Bagiku, suara
akustik yang berdenting renyah itu lugas terurai di tengah semua
harmoni.
Suara akustik itu memainkan temponya di tangga nada detikku. Tak
terlampau sukar membedakannya dari yang lain sebab iramanya seperti kecepatan
detak jantungku sendiri. Percampuran bunyi akustiknya dengan bunyi mana pun tak
bisa menganggu konsentrasiku padanya. Di pusaran nadanya aku berlari dan menari. Aku tidak bisa tak mendengar nada itu. Aku pasti lemah di
hadapan penjinjing irama itu.
Betul adanya akan tiba masa di mana segala macam kebanggaan terhadap
diri sendiri meluruh di hadapan seseorang.
Maka jarak tidak pernah menarik tembang itu dari telingaku. Dia terasa begitu
dekat meskipun aku tak paham titik koordinat keberadaannya. Aku tak merasa
petikan gitarnya semu walau tak melihat perwujudannya. Dia adalah kehadiran nun
tertanam begitu saja tanpa ku sempat gusar mengapa belum bersua. Dia mengusikku pelan-pelan kemudian meluruh dalam darah--seolah suaranya tak berasal dari luar. Dia adalah
nada yang seolah sedang mendoakanku diam-diam.
Aku percaya tangan-tangan Tuhan berencana mengapa bunyinya berdering di
telingaku. Kian hari bunyinya kian menjadi. Crescendo.
Suara akustik itu semakin nyaring semakin menyejukkan hari. Irama itu adalah
satu-satunya overdosis yang tak berbahaya. Aku yakin dia sedang memainkan jemarinya
di antara senar gitar nan dijinjing seraya melangkah mendekat.
Benar. Dia terdengar seperti Canon in D di telingaku. Dia mengalunkan nadanya di hatiku.
----------------
(Purworejo, 02082014)
image source:flickr
image source:flickr
0 Comments:
Post a Comment