KETIDAKSABARAN
- August 29, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Permisi. Bolehkah aku membenamkan diri ke ruang
kesabaran kembali?
Penantian adalah sinonim
kesabaran sebagaimana juga sinonim ketidaksabaran. Aku bersembunyi di balik
tirai penantian dan terlihat begitu tenang sementara hati enggan putus bertanya-tanya.
Aku tak berdaya
membedakan bilamana ini
ketabahan atau ketidaktabahan. Sering
aku tidak mengerti pada kesabaran
dan ketidaksabaran yang ku pilih sendiri. Aku
meragu pada tahan atau tidaknya aku
menghadapi segala pergerakan yang mengguncang batin. Sepertinya lumrah jika ku katakan
aku tidak sabar hanya saja aku
akan tampak kasihan karenanya.
Dengan atau tanpa kesabaran, aku tetap hanya memperoleh yang tertulis untukku saja.
Jadi mengapa aku harus kehilangan kesabaran?
Aku tak ingin ketidaksabaran membuatku menjelma
begitu memprihatinkan.
Aku percaya bahwa kesabaran harus berkawan
dengan seribu satu ujian.
Aku—tersirat maupun tersurat-- pernah berpasrah pada ketidaksabaran karena
cobaan. “Pasti sepadankah sesuatu yang kita tunggu dengan waktu penantiannya?” Entah apa yang aku harapkan dari
pertanyaan kosong itu. Lalu jika tidak sebanding, siapa aku lancang menggugat Tuhan. “Apakah kebaikan
harus menyenangkan?” Sepertinya
saya perlu dikurung bersama seorang filsuf untuk tersadar bahwa saya tak lain tong kosong yang nyaring bunyinya. Tuhan memberikan saya kebaikan, kebahagiaan
adalah pilihan saya menanggapinya.
Pada akhirnya aku menyerah.
Biarkan saja waktu yang menanti sementara aku sibuk melakukan yang lain. Aku telah
bercerai dari
ketidaksabaran karena aku tidak mungkin lebih tidak sabar dari ini.
Aku bersiap atas ujung dari sebuah penantian. Aku harus berhenti berdiam di sudut selain kesabaran. Jika pun aku masih
jauh dari pusaran, aku tak gusar. Aku
telah berhenti dari ketidaksabaran yang memerosokkan ku dalam ketidaksabaran yang lain.
Bulan masih terlihat bahkan
ketika langit pagi telah tergelar. Bulan tidak ke mana-mana hanya saja ia tidak
terlihat di beberapa kesempatan. Seperti itu jua takdir kita. Tuhan
menjinjing buah-buah takdir kita dalam keranjang yang belum akan diulurkan sebelum buah tersebut masak. Maka berhenti dari ketidaksabaran adalah sebentuk penerimaan
terdapat kepastian Tuhan. Sungguh aku yang bermusuhan dengan kesabaran bukanlah
apa-apa, bahkan sebutir debu pun.
Karena aku tanpa kesabaran hanyalah aku yang papa.
----------------------
0 Comments:
Post a Comment