MENGGANDENG MIMPI
- August 09, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Mula-mula aku berjalan
menggandeng mimpi. Saking asyiknya bercerita, aku lupa mengulurinya kesempatan berbicara. Dia mengeratkan jemarinya sehingga tanganku sesak seolah tak
ada lagi udara di antara jari kami. Aku menerka-nerka mengapa dia
memperlakukanku demikian kasar. Diam-diam aku meliriknya. Dia menatapku tajam
kemudian sorot matanya menyuruh penglihatanku beralih memperhatikan jalanan di depan.
Lalu tiba-tiba hujan turun. Di
sela jari-jari kami yang rapat berdebat, air menjadi penengah. Aku sekali lagi berkeluh kesah. Suaraku tak
mengubah mimpi berpaling memandang mukaku yang kuyup oleh hujan. Dia hanya kembali mengeratkan jemari sehingga air tak bisa memagari jari-jari kami. Telapak tanganku dipukul-pukul denyut nadinya yang marah. Aku teraliri dingin yang tadinya dia simpan sendiri. Wajahnya pucat seperti tak yakin aku bisa mengantarnya pada
tempatnya.
Aku seharusnya menggandeng mimpi
yang lain. Mimpi ini terlalu rewel, batinku. Aku bergumam betapa berjasanya aku mengajaknya seiring sementara dia hanya menyamai langkahku saja. Aku bergaya bak pahlawan
yang selalu melindunginya padahal aku tidak melakukan apapun selain hanya melangkah lambat melewati mistar waktu sembari sesekali mengomel. Sekarang aku ingin melarikan diri dari genggaman tangannya yang mencekik tanganku. Aku ingin menggandeng mimpi lain yang penurut.
Di angka lain mistar aku
melawan gerah yang matahari bagikan. Tangan kiriku sibuk mengipasi tubuh yang
banjir keringat. Haruskah aku mengangini mimpi jua? Dia sepertinya sangat
kepanasan. Tangan kanannya sibuk menghalau para pejalan lain yang
terbirit-birit melaju dan hampir menabrak kami. Apakah aku bergerak terlalu
lambat? Aku enggan berkeringat lebih jika aku berlari. Aku gerah karena
matahari, mimpi gerah padaku. Jarak kami berangsur-angsur menjauh meski masih bergandengan. Haruskah kami berpisah saat ini juga?
Pada akhirnya aku berjalan di
samping mimpi yang sibuk menceramahiku. Dia enggan menggandeng tanganku lagi. Dia
menghardikku. Saking asyiknya memaki, dia lupa memberiku kesempatan berbicara.
Mimpi kemudian berbalik arah
meninggalkanku. Aku tidak memiliki teman berjalan lagi. Mimpi yang lain juga enggan bersahabat denganku. Seperti bocah kecil yang menolak ditinggal aku merengek. Mimpi berlari begitu cepat dan tak sedikit pun menoleh kembali.
Dia kesal padaku yang terlalu banyak menengok ke kanan-kiri dan berbicara apa saja padahal jalanan masih begitu panjang membentang
--------------------------
image source: speak-your-passion.
Dia kesal padaku yang terlalu banyak menengok ke kanan-kiri dan berbicara apa saja padahal jalanan masih begitu panjang membentang
--------------------------
image source: speak-your-passion.
0 Comments:
Post a Comment