ELEGI KESEPIAN
- December 29, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Aku tidak membenci sepi. Telah tiba
masa aku berdamai dengan kesepian dan mencintainya. Aku berkawan karib dengan
hening nan bisu. Jari jemariku menggengam tangannya erat. Aku bernyanyi menghibur sepi yang dihinggapi kesepian. Dia tak lagi ku golongkan kejadian luar biasa. Aku dan sebagian orang mungkin menganggapnya
situasi umum yang tak terpisahkan dalam keseharian. Diriku menerimanya apa
adanya seperti aku menyetujui kenyataan bahwa makhluk hidup harus bernapas
untuk hidup.
Tenang. Aku baik-baik saja dalam kesendirian.
Aku tak merasa perlu mengabarkan agar dunia mengasihaniku. Tak seorang pun perlu mengetahui di mana aku
bersembunyi bersama kesunyian. Aku tak berkhayal seseorang datang
menyelamatkanku dari sesuatu yang mereka sebut membosankan itu. Aku menikmati
senyap yang memeluk dan melipurku.
Lagipula kesepian ini tak
semata-mata karena tak seorang pun berada di sini. Kesepian adalah perkara
hati. Batinku memutuskan aku kesepian. Kakiku beku tak bergerak ke arah kerumunan. Dari semua jenis tempat, aku memilih pertapaan. Sejatinya aku menyulam kesepianku sendiri.
Aku tak membenci sepi. Aku bahkan
tidak mencari kunci untuk keluar dari ruang hampa ini. Sudah ku katakan aku
baik-baik saja—begitu pula sepi. Dia juga baik-baik saja di sampingku.
Sepi, aku tidak sedang berwajah
muram, bukan?
------------------
image source: poweryong @ deviantart
0 Comments:
Post a Comment