-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

18 Jan 2015

TESTIMONI

  • January 18, 2015
  • by Nur Imroatun Sholihat
Rintik hujan memainkan perkusi di jendela kamarnya. Dia terbangun bersama alarm lagu yang sedari lama dia sukai. Lagu lawas dari The Beatles masih setia berjajar di daftar putar ponselnya termasuk lagu yang sedang berdering saat ini. Dibiarkan rambutnya tak beraturan menutupi sebagian wajahnya. Dia memandang gerimis yang syahdu pagi itu. Dia menatap ruangan yang telah berbulan-bulan tak sempat dirapikannya. Dia beranjak dari duduk mematung di samping bantal untuk menata kamarnya.

Hujan masih berdrama di luar ketika sebuah botol kaca yang dia tarik dari kolong tempat tidurnya berderit. Kertas beraneka warna duduk bersisihan di dalam botol itu. Waktu tidak membeku tetapi tangan-tangannya berhenti merapikan kamar. Dia mengeluarkan satu persatu lembaran kertas itu dan membacanya. Kertas terakhir yang dibacanya berwarna biru—wajahnya turut membiru. Tawa kecil karena kenangan masa kuliahnya tergusur oleh pilu yang teramat dia kenali. Dia akrab dengan perasaan ini sejak masih duduk di bangku universitas.

“Kau selalu terlihat ceria bahkan saat kita dihukum bersama. Sebagai sahabat seharusnya aku pernah melihatmu menangis tapi ternyata kau sungguh tangguh. Meskipun suka makanan pedas, kau harus berjanji padaku untuk menjauhi saus. Saus tidak baik bagi kesehatan. Terakhir, semoga mimpi-mimpimu tercapai, sahabat.”

Entah karena hatinya terheningkan atau apa, bunyi hujan menjadi begitu riuh. Terik matahari yang berhari-hari tak bertengger di langit kota itu mendadak muncul di langit-langit kamarnya. Di masa lalu, kelas mereka pernah dilarang masuk kelas oleh seorang dosen. Mereka terpaksa mengerjakan tugas di luar ruangan dan matahari tengah terik-teriknya.

“Bagaimana mungkin ada yang lupa kalau kita punya tugas makalah? Akibatnya kan kita semua dihukum.” Lelaki itu mengeluh untuk ke sekian kali. Dia melirik ke arah sahabat baiknya yang sibuk membaca buku materi kuliah yang seharusnya sekarang mereka hadapi.

“Tak mengeluh, Ra?”

Aira menggelengkan kepala. “Kita tidak pernah belajar di luar kelas kan? Ini pengalaman baru.” Senyum mengembang di wajahnya.

Kedua bola matanya memandang wajah kesal sahabatnya itu. Meskipun sedang mengeluh ataupun marah, lelaki itu masih terlihat begitu menarik. Lelaki itu adalah seseorang yang bersikap sangat hangat padanya—hanya padanya. Tak ayal dia selalu bertanya-tanya apakah ia adalah seseorang yang berarti dalam hidup lelaki penggemar grup The Beatles ini. Apakah sahabat itu pernah berpikir bahwa Aira yang sengaja maupun tak sengaja selalu ada di sampingnya itu lebih dari seorang sahabat?

Di hari mereka berpisah karena kelulusan, testimoni dari seorang sahabat tak lebih spesial dari testimoni orang lain. Kertas yang sedang digenggamnya memutar kenangan tentang harapannya pada kertas itu di masa lalu. Ada raut muka yang tak pernah ditunjukkannya selama ini. Dia malu bersua realita lelaki itu tidak sedikit pun mewujudkan angannya.

“Apakah dia akan menyatakan perasaannya padaku lewat kertas ini?” Khayalnya kala itu.

Jawabannya tentu saja sederhana. Tidak. Lelaki itu hanya berbasa-basi menulis kesan sebagai tradisi menjelang kelulusan. Sedangkan Aira telanjur menulis apa yang hendak diutarakannya selama bertahun-tahun ini.

“Aku tak pernah mengeluh, katamu suatu hari. Kau tak tahu bahwa aku bahkan tak mengeluh saat batinku patah oleh seseorang sepertimu. Aku masih tersenyum seperti biasa, bukan? Padahal kau mematahkan hatiku berkali-kali. Kau terlalu istimewa untuk membuat hati menjadi sedih.”

Mata mereka bertemu di hari wisuda. Setelah itu mereka tak pernah bersua lagi seolah-olah testimoni dari Aira tak pernah terbaca. Mungkin kertas itu terselip saat hendak dimasukkan ke dalam botol kaca. Mungkin saja lelaki itu memang tidak pernah tertarik pada pesan, kesan, atau testimoni apa pun.

Aira tertunduk seolah tulang punggungnya baru saja meloncat keluar untuk menari bersama hujan. Sudut matanya basah. Kenyataan bahwa lelaki itu tak pernah menghubunginya dan beberapa hari yang lalu mengiriminya undangan pernikahan mencekiknya kembali.

“Aku tak selalu ceria, sahabat. Aku hanya tak tahu bagaimana cara bersedih saat ada kau bersamaku.” Air mata meluap dari lingkaran matanya.
----------
image source: www.craftsutopia.com

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE