-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

10 Jun 2015

LAMPU SOROT

  • June 10, 2015
  • by Nur Imroatun Sholihat

Kau membawakan untukku sekeranjang harapan. Tanpa sempat berpikir, aku menjinjingnya kapan pun aku melangkah. Tentu saja aku tak mengerti apa yang tengah terjadi denganku. Aku terlalu bahagia untuk menganalisis perasaanku sendiri. Sebenarnya ada rasa khawatir aku akan menjelma pungguk merindukan bulan jika tak tepat menangkap maksudmu. Kau menyatukanku dengan perasaan yang terlampau hebat untuk ditanggung oleh batin. Seperti yang Milan Kundera tuliskan, aku tak tahu apakah ini histeria atau cinta. Kau yang seterang bulan tiba-tiba memberikan sinarmu hanya untuk menjadi lampu sorot ke mana pun aku bergerak. 

Aku pun terus bergandengan dengan kegembiraan yang berlebih. Namun, tak membutuhkan waktu lama untuk terbangun dari histeria. Bahkan sebelum sempat memastikan hatiku untukmu, dari kejauhan kau melempar batu ke kepalaku. Dalam langkah ringanku, aku bertemu seseorang dengan lampu sorot yang sama. Dia memeluk sinarmu erat. Aku kemudian membuntutinya guna memastikan sinar itu serupa dengan sinar yang berpendar di sekelilingku. Bukankah kau pernah berujar bahwa pancaranmu hanya untukku? Mungkin kau hanya bercanda dan membagi sinarmu sembari bercanda kembali. Sinarmu yang dulu meringankan, kini terasa begitu berat.

Aku memadamkan lampu sorotmu ke arahku.

Aku melanjutkan perjalanan dengan perasaan yang tidak ku kenali sebelumnya. Sebelum binarmu datang, aku tak mengenal kesepian. Aku menyeret trauma kepada sinar apapun karena kau. Jika kau tidak pernah memberi sinar kepadaku, saat ini aku tak akan berjalan begitu berhati-hati. Jalanan terasa demikian gelap. Aku refleks berjalan mundur dan berlari kencang menjauh jika bersua dengan cahaya. Aku berjalan meraba-raba kerikil yang berserakan was-was mereka hendak menusuk kakiku. Aku terlampau berhati-hati hingga aku tak kunjung sampai pada tujuanku. Aku seharusnya tak perlu berjalan terlampau berhati-hati jika aku tak takut terlukai, bukan?

Aku hanya tak menyangka kau sebatas bermain-main saat itu. Tanpa kau tahu, hal yang kau anggap permainan adalah hati untukku. Harapan yang kau taburkan di sekelilingku membuatku sulit mempercayai harapan di ujung perjalanan sana. Aku berhati-hati sekali meski aku tak perlu berhati-hati. Jika harus jatuh sekalipun, bukankah aku selalu bisa bangkit? Tidak. Kau membuatku curiga jika aku jatuh, aku akan selamanya berada di tempat aku terjatuh.

Aku bukan pungguk merindukan bulan, aku aku merindukan aku sebelum kehadiran sinaranmu.
--------------
He had no idea whether it was hysteria or love. (Milan Kundera)
image source: here

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE