-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

6 Aug 2015

ENAM TAHUN (Bagian III)

  • August 06, 2015
  • by Nur Imroatun Sholihat
Aku berhenti terjatuh setelah selama enam tahun terjatuh makin dalam sepanjang waktu.

Aku tidak benar-benar tahu sejak kapan tepatnya aku bisa melepaskan diri dari belenggu yang telah memasungku enam tahun ini. Di masa awal kepindahanku, aku belum jua berhasil membisukan suaramu yang menggaung di sekelilingku. Kini aku terbangun mendengar alunan burung berkicau dan terlelap bersama keheningan. Suaramu menghilang seperti kaset yang telah terlalu lama diputar sehingga rusak. Aku tak lagi perlu mengusirmu yang selalu duduk santai di dalam mimpiku, kau sudah tak lagi di sana. Aku melangkah dengan ringan karena tidak lagi membawa beban perasaan yang menggunung selama bertahun-tahun. Perasaan seperti ini lebih sesuai bagiku ketimbang perasaan cukup berbahagia hanya dengan mengetahui keberadaanmu.

Tulisan-tulisanku tidak lagi mengenalmu. Dahulu kau mengatur seluruh emosi tulisanku  namun tak pernah membaca satu pun. Hari di mana kau tidak menjadi tokoh dalam tulisanku akhirnya datang. Aku menyadarinya setelah berhari-hari tidak memikirkanmu sama sekali. Aku berusaha melupakanmu susah payah hingga lelah. Pada akhirnya aku lupa padahal aku tak lagi berusaha. Segala tentangmu berlalu pada saat aku bahkan tak lagi peduli perkara melalukanmu.

Jadi jangan tanyakan mengapa aku tak ingin menemuimu setelah apa yang terjadi selama enam tahun ini. Pertemuan adalah hal yang aku impikan selama enam tahun tetapi saat ini aku tak lagi menunggu. Enam tahun ini aku tidak berputus asa tetapi biarkan kini aku menyerah. Aku sungguh-sungguh tak merindukanmu dan tak ingin menemuimu.

Ada terlalu banyak hal yang aku hadapi tetapi tidak kau temui selama enam tahun ini. Kau mungkin tahu bahwa aku selalu menjadi pihak yang menyesal ketika waktu yang semestinya mempertemukan urung menyapa kita. Aku selalu membiru setiap kali kau menghindari persuaan. Ada pilu yang tidak terlupakan rasanya ketika mengingat terakhir kalinya kita bercakap-cakap.

“Anggap saja aku tak mendengarnya.” Kau tersenyum tenang. Betapa inginnya aku meminjam senyum tenang itu. “Mulai sekarang, tulislah seseorang lain.” Kau menyodorkan buku catatanku yang baru saja kau baca. Sorot matamu tenang, pikiranku porak-poranda.

Aku mengeluhkan betapa tak adilnya kau memperlakukanku. Aku tidak mengerti mengapa kau sanggup terdiam mendengar setiap kabarku. Aku tak mengerti mengapa kau bisa menjadi begitu riang dan ramah kepada selainku. Aku heran mengapa kau selalu leluasa tersenyum tenang dan tertawa girang bersama selainku. Bagaimana kau berharap kau tidak terlihat palsu ketika kau menghubungiku dan berujar tidak tahu aku telah berpindah. Bagaimana kau berharap aku tidak berurai tangis kau menghubungiku setelah aku berhasil menghentikan langkahmu menjelajahi batinku. Bagaimana kau bisa demikian tega berucap bahwa suatu saat nanti kita pasti bertemu lagi.

“Kalau kau berkunjung ke kota ini, mari bertemu.” Ucapmu di seberang sana.

 “Anggap saja aku tidak mendengarnya.” Aku mengakhiri percakapan.

Aku tersungkur bersama tumpukan perih yang ku tanggung selama enam tahun ini. Di balik derai air mata, aku tersenyum tenang persis seperti yang kau tunjukkan kepadaku enam tahun lalu.
-------
(the end)
"Even one word is fine. Please say goodbye." (Color Ring, Winner)
image source: uclafacultyassociation

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE