LELAKI YANG MENARI DI BAWAH HUJAN
- September 07, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Kau dengar
bunyi gesekan di pembuluh kapilerku karena darah berlari demikian kencang?
Suara yang terdengar seperti perkusi itu adalah suara detak jantungku yang
melompat-lompat. Aku mendengar suara itu lebih keras ketimbang suaramu. Mungkin
aku terlalu gugup kau berdiri begitu saja di depanku. Kau berbicara seperti
biasanya kau berbicara—aku kehilangan akal cara menyembunyikan degup yang
dengan girangnya berakrobat. Aku curiga kalau-kalau kau juga mendengar
suara-suara itu ketimbang suaramu sendiri. Duh, tenanglah sedikit. Seseorang
yang menyita perasaanku tengah berbicara kepadaku.
Aku tidak
bisa menanggapi ucapanmu sebab aku bahkan tak mendengar satu pun kata. Kau
membuat semua kata yang beredar di kepalaku berlomba-lomba terucap. Aku bahkan bimbang kalimat mana yang tepat untuk ku utarakan. Tanpa ada kaitannya dengan
hal yang sedang kau bicarakan, aku ingin bercerita padamu tentang lelaki yang
menari di bawah hujan. Kau pasti akan tertawa dan menyuruhku berhenti membaca
novel romansa atau menonton drama. Kau pasti tidak tahu kalau lelaki itu tidak
melompat ke luar dari halaman buku atau layar kaca. Dia ada di depanku
bertutur sewajarnya dia bertutur di setiap harinya. Dia pasti tidak menyusun
kalimat yang hendak dibicarakan tetapi aku melihatnya seperti berorasi dengan
naskah yang dihafalkan selama tiga malam.
Bukankah
kau hanya berbicara hal yang sebenarnya tidak penting? Aku
melihatmu menertawakan kisahmu sendiri. Mungkin kau tengah bercerita pengalamanmu
menyaksikan pertunjukan komedi untuk pertama kali. Entahlah. Aku tidak mendengar satu
pun huruf yang dibunyikanmu. Kau masih saja tergelak seolah ceritamu terlampau lucu. Matamu tetap berkilauan sekalipun terpejam karena
terlalu riang tertawa. Haruskah aku ikut tertawa atas hal yang tidak kudengar?
Kau kusebut
lelaki yang menari di bawah hujan. Tunggu, bukankah sebenarnya kau hanya
berlari riang menembus hujan? Bagaimana aku harus menjelaskan kepadamu perkara
satu ini. Setiap gerakan tubuhmu diterjemahkan sebagai tarian oleh mataku. Kau
akan berkilah kalau kau hanya berlari sebagaimana mestinya seseorang
menyeberangi hujan. Haruskah aku ceritakan bagaimana aku melihatmu tersenyum
di bawah hujan seolah tidak satu pun menghalangi langkahmu? Aku yang menunggu
hujan reda mendadak sibuk mencegah langkah kakiku agar tak berlarian mengikutimu.
Aku ingat
kalau aku selalu berdiri di bawah atap sementara kau hanya beratapkan langit. Sedari
kecil, aku selalu patuh pada nasihat untuk tidak berdiri di bawah hujan.
Kemudian kau datang seperti anak kecil yang mengajak temannya bermain hujan. Apakah
kau tidak takut terserang flu lalu tidak bisa melanjutkan senyum riang itu?
Aku selalu
penasaran apabila aku bisa menasihatimu, apakah aku akan menyuruhmu berhenti
bermandikan hujan agar tidak jatuh sakit atau justru membiarkanmu menari di
bawah hujan sebab senyum khas kanak-kanak yang terpancar di wajahmu. Aku tentu
tak perlu memikirkannya sebab aku tak mungkin menjumpai masa aku harus menasihatimu.
Aku
mendengar suara yang akhirnya membuatku bisa mendengar bunyi selain bunyi yang
bersahutan dari ragaku sendiri. Hujan yang demikian lebat muncul laksana lukisan di balik dinding kaca di sebelahku. Aku menatap wajahmu untuk
memastikan apakah kau akan tetap pulang saat ini atau menunggu hujan usai.
Senyum lugu menyembul bersama matamu yang bulat dan berbinar-binar. Aku melihat
hatimu yang seolah berlompatan girang menyambut hujan.
“Apakah
kau ingin mendengar ceritaku?” Aku menahanmu yang sedang bersiap membaur dengan
air dari langit.
Kau
menghentikan langkahmu menunggu aku melanjutkan ucapan. Aku berpikir keras tentang
hal yang harus aku tuturkan. Aku takut kau terkena flu tetapi aku sungguh tidak bijak memutuskan persahabatanmu dengan hujan.
“Sejak kecil,
aku selalu penasaran rasanya bermain hujan.” Aku berlari mendahuluimu menemui
hujan.
-------------------
"Mencintai air harus menjadi ricik" (Sajak Kecil tentang Cinta, Sapardi Djoko Damono)
Image source: naldzgraphics.net
0 Comments:
Post a Comment