-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

28 Sept 2015

UTOPIA

  • September 28, 2015
  • by Nur Imroatun Sholihat
Aku tidak pernah mengira akan tiba hari di mana kita berkawan erat. Di masa lalu, aku hanya bisa memperhatikanmu dari kejauhan, mengetahui seluk-beluk tentangmu secara tidak langsung sebab hampir setiap orang memperbincangkannya, lalu melalukannya begitu saja sebab kau pasti tidak tahu aku.

Jalan kita bersimpangan kemudian. Tiba-tiba kita bersua dan berkawan. Ini terlalu utopis untuk menjadi nyata. Aku jelas tidak percaya ketika pertama kalinya kau menyebut namaku. Bahkan hingga kini, aku masih tidak yakin setiap kali kau memanggilku dengan akrab. Aku sulit mempercayai kenyataan bisa melihat tawamu dari jarak sedekat ini. Seperti ini saja, berapa banyak orang yang ingin bertukar posisi denganku?

Aku suka ketika kau mengajakku jalan-jalan tak tentu arah. Aku suka ketika kau bercerita banyak hal sepanjang perjalanan dan aku dengan antusias menyimaknya. Aku suka ketika kau tidak menurutiku untuk makan pedas sebab hari masih pagi. Aku suka bagaimana kau selalu menatap hangat orang-orang di sekitarmu. Aku suka kala kau melakukan kebaikan-kebaikan kecil secara refleks. Aku suka masa kau sibuk melakukan sesuatu dan berwajah begitu serius. Aku suka kenyataan hari seperti selalu pagi saat melihat senyum polos yang terukir di wajahmu. Ketika kau tidak mengetahui jawaban atas sebuah pertanyaan, kau berekspresi yang membuat pipimu begitu menggemaskan. Aku suka waktu candaanmu ternyata tidak lucu dan kau tetap tertawa. Aku suka kau bersikap demikian baik secara adil kepada setiap orang. Kau tidak mengistimewakan siapa pun meskipun semua orang merasa teristimewakan. Aku suka ketika kau berkata kau senang dikelilingi sahabat-sahabat yang baik.

Semua masih sama meskipun aku tak lagi makhluk asing bagimu. Aku melihatmu dari dekat, mengetahui seluk-beluk tentangmu secara langsung sebab kau menceritakannya sendiri, tetapi tetap menganggapmu seseorang yang tidak terjangkau. Aku senang kita menjadi sahabat tanpa berharap apa-apa. Saat ini ketika aku bisa melihatmu leluasa bercanda denganku—sesuatu yang dulu hanya bisa kulihat di antara kau dan sahabat karibmu, aku gembira. Aku merasa begitu bahagia tatkala kau berbicara dan tertawa lepas di depanku. Bagaimana mungkin ini terasa demikian cukup bagiku? Aku tak menginginkan peran yang lebih dari yang sekarang ku dapatkan. Kau pasti tidak percaya kalau ada seseorang yang tidak memimpikan masa depan apapun denganmu selain bisa terus melihatmu tertawa. Kau akan tetap memesona bahkan saat nantinya kau telah menikah. Keinginanku aneh, bukan? Aku berbahagia meskipun nanti kau telah menikah dengan seseorang asal aku bisa terus menjadi sahabatmu dan melihat tawamu.

Mereka berkata bahwa tidak ada persahabatan sejati antara seorang lelaki dan perempuan tetapi aku tidak sedang mengada-ada ketika aku menyatakan perasaan semacam ini ada. Perasaan lain kepadamu adalah perasaan yang tidak akan berawal. Perasaan yang selalu bermukim di hati banyak orang tidaklah bermukim di hatiku. Aku bahagia hanya dengan menjadi demikian. Setelah bersahabat denganmu aku justru menyadari bahwa semakin dekat denganmu semakin sulit seseorang untuk jatuh hati. Bagaimana tidak. Seseorang menjadi sadar betapa jauhnya mereka darimu meski sedang berada di dekatmu.

Aku pikir tak hanya aku yang menyadari ragam rasa ini ada: memandang dari jarak yang tepat agar selalu melihat keindahan dengan kadar terbaik. Sungguh aku tidak bersyukur jika merasa berkekurangan. Siapa aku untuk berharap lebih?
-----
image source: sweetlilmzmia.com

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE