APA YANG KAU RINDUKAN DI BAWAH HUJAN
- December 08, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Di suatu rintik,
dengan mata bulatmu kau menatapku dan bertanya, “Apa yang kau rindukan di bawah hujan?”
Tak sebagaimana
lazimnya menghadapi pertanyaan, otakku tak langsung mencari jawaban atas tanda
tanya tersebut. Aku malah sibuk menelusuri ingatan barangkali aku pernah
membaca di kamus mana hujan bersinonim dengan rindu. Pertanyaanmu terus
berusaha meyakinkanku bahwa rindu adalah padanan kata dari hujan.
“Aku merindukan
hari di mana semua berjalan biasa saja.” Kau seakan tahu aku tidak menemukan
jawaban apapun.
Hari di mana
semua berjalan biasa saja? Maksudmu hari yang dingin dan hujan di luar
jendelamu di mana kau terbangun di pagi hari sebab harum masakan ibumu menarik
tanganmu lalu kau berjalan dengan mata yang masih terpejam dan tiba-tiba telah
sampai di dapur lalu kau memeluk ibumu dari belakang seolah kau harus sarapan
detik itu juga? Maksudmu hari di mana hal-hal konyol bisa membuatmu tertawa
riang sebab diceritakan di tengah orang-orang yang tumbuh bersamamu? Apakah
yang kau maksud hari di mana kebahagiaan ternyata demikian sederhana?
“Aku juga
merindukan hari di mana semua berjalan biasa saja.” Aku bak mesin fotokopi
yang menduplikasi kalimatmu.
“Kau bisa
merindukan siapapun saat tidak hujan tetapi ketika hujan tiba, rindumu menuju
tempat tersebut” Kau seolah baru saja berjalan-jalan di otakku dan membaca
pikiranku.
Kita selalu
otomatis berbekal rindu ketika hujan turun. Saat jarak kita dan tempat itu membuat
kita tak lagi bisa pulang setiap kali kita didera keinginan untuk pulang, kita
tersadar bahwa hujan turun salah satunya untuk membuatmu mengingat rumah.
Ketika jalan terasa begitu sesak dan membingungkan, kita masih akan tersenyum
ketika mengingat rumah. Ketika hari seringkali berjalan dengan arah yang tidak
kita mengerti, kita rindu hari yang berjalan biasa saja. Rindu kepada rumah
membuat kita mengerti bahwa ada rindu yang akan selalu membahagiakan. Rindu
kepada orang-orang yang berdiam dalam doa kita tersebut tidak sedikit pun
menyakitkan.
“Apa yang kau
rindukan di bawah hujan?” Aku terdiam sejenak. “Hujan.” Aku menjawab sendiri
pertanyaanku. “Aku rindu pada hujan sebab hujan memutar kembali kenangan suara
hujan di atap rumahku.”
Kita berdua tertawa
seolah kalimatku teramat lucu. Mengapa kita tak sedari tadi menyederhanakan
kalimat dengan menyebut rumah. Mungkin
kita terlalu malu untuk berkata rindu rumah di usia di mana kita seharusnya
telah mampu berdiri sendiri. Ah, tetapi sungguh aku merindukan tempat di mana
orang-orang yang menjadi sumber kekuatanku itu tinggal.
Saat ini yang
kita berdua pikirkan di bawah hujan
bukan redanya hujan tetapi hujan itu sendiri.
-------
I read it
somewhere and sure it’s true: “Karena sejauh apapun jarak, doa akan sampai.”
image source: onehdwallpaper.com
0 Comments:
Post a Comment