-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

12 Mar 2016

ANGIN

  • March 12, 2016
  • by Nur Imroatun Sholihat
Mas Bayu,

Bahkan setelah lima tahun berlalu, tak jarang kau menjelma dalam mimpiku. Kau hampir tak pernah melakoni peran utama tetapi menjadi anggota tetap dalam pementasan mimpiku. Semalam kau terduduk santai membaca buku di ruang yang sama denganku. Kau tak sekalipun menoleh ke arahku yang berkali-kali melintas di sekelilingmu. Aku tak pernah mengerti peran macam apa yang sedang kau peragakan. Pemain yang nyaris tidak melakukan gerakan apa-apa, tak berdialog maupun bermonolog—untuk apa kau ada di sana.

Aku tersadar setelah bertahun-tahun kau sering melintas di pikiranku secara tiba-tiba, kaulah alasan aku tak pernah jatuh hati pada siapa pun selainmu. Kau selalu muncul begitu saja di pikiranku. Setiap aku bersua dengan seseorang lain, namamu bergerak dalam pikiranku secepat laju angin. Aku terdiam dan kecewa mengapa bukan kau yang sedang berdiri menemuiku. Aku terhanyut merasakan angin yang membelai wajahku perlahan untuk kemudian meninggalkanku kebingungan. Aku seharusnya tak tertipu bahwa yang kau lakukan sebenarnya adalah menyapu pelataran batinku hingga tersisa aku sendirian. Kau tak sungguh berniat singgah apalagi menetap.

Hari-hariku kerap kali dikhawatirkan dengan pertanyaan apakah kau akan melintas kembali.

Setelah sibuk menyangkalnya selama ini, setelah mimpi ini air mataku sulit untuk berhenti mengalir. Sebab aku tak mungkin terus berdusta pada diriku sendiri tentang masa depan khayalanku denganmu. Sebab dirimu senantiasa berpindah seperti angin yang tak pernah bermukim di tempat yang sama. Sebab selama ini aku terlalu keras kepala tak ingin bersama siapa pun selain dirimu. Sebab kekhawatiran tentang akhir bahagia yang ternyata tidak milik semua cerita seringkali menghantui. Sebab aku sebenarnya tahu ke mana kisah semacam ini selalu berujung.

Aku seharusnya tidak terbang tak tentu arah seperti layangan yang digerakkan angin itu. Aku tak perlu menyimpan rasa berlebihan pada dirimu yang selalu memperlakukanku dengan biasa saja. Aku tak semestinya kecewa kala kau tidak mempedulikanku. Setiap mendengar kau menaruh hati pada seseorang, hatiku tak usah seolah ditaruh di atas ilalang yang tak henti terkoyak angin. Aku seharusnya berani mengakui kenyataan bahwa aku tak akan pernah bisa menangkap angin yang berlalu lalang secepat kilat—agar aku tahu bahwa aku harus menyerah. Kau yang selalu mengambil peran dalam pementasan mimpiku tentu tak pernah berniat mengambil peran apapun dalam realitaku, bukan?

Mas Bayu, aku butuh lima tahun untuk benar-benar mengerti perasaanku padamu karena aku terlalu kerap menyangkal pertanda yang ada di dalam diriku. Jika kau tahu suara batinku, kau pasti hanya merasa kasihan sebab aku demikian payah mengharapkanmu. Setelah aku tahu penyangkalanku tak pernah berhasil sekalipun, yang perlu aku lakukan tetaplah sama. Aku hanya perlu menyangkalnya. Apa yang bisa aku lakukan ketika kita hampir tak pernah saling menghubungi lagi dan kau bahkan mungkin tak benar-benar ingat bahwa kita saling mengenal?

Namamu berarti angin. Aku sebenarnya tahu kau bukan angin yang akan bertiup lembut ke arahku melainkan badai yang akan meluluhlantahkan. 
----
image source: pcwallart.com

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE