-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

25 Mar 2016

RASA YANG TIDAK BISA KAU RENCANAKAN

  • March 25, 2016
  • by Nur Imroatun Sholihat
“Aku berencana menikah dengannya.” Aku memang berharap lelaki di depanku membawa kejutan tetapi bukan kejutan ini yang aku harapkan.

“Apakah kau mencintainya?” Aku memberanikan diri bertanya dengan suara yang kelewat lirih.

“Aku akan jatuh cinta kepadanya.”

Rencana yang demikian baik tengah kau semai tetapi aku justru sibuk meragukan apakah aku harus benar-benar ikut berbahagia. Waktu menyepi. Teman karib yang kukenal sejak belasan tahun lalu membawa kejutan di pertemuan kami setelah lama tidak bertemu. Seorang wanita yang benar-benar baik akan mengikat janji denganmu. Aku bahkan tidak punya alasan untuk membantah rencanamu sebab memang tidak ada alasan yang cukup tepat. Bahkan ketika ide mengenai jatuh cinta yang menurutku begitu serius digubah menjadi demikian mudah, aku masih tak mampu menyelisihimu.

“Bagaimana kalau tidak berhasil? Sungguh rancu rasanya jika hati dan pikiranmu tertuju pada orang yang berbeda.” Aku masih bersama kontradiksi batin yang berteriak-teriak lantang tetapi suara yang  berbisik teramat lirih.

Lelaki itu menatap langit hitam yang membentang di atas kepala seperti kesulitan menemukan jawaban atas pertanyaanku. Bukankah setiap orang ingin orang yang dinikahi dan orang yang cintai adalah orang yang satu? Semua orang tentu berharap dengan atau tanpa alasan, dia tetap memilih orang yang sama. Helaan napasnya begitu berat. Seharusnya di pertemuan kali ini, setelah sekian lama terpisah, kami berbincang hal yang menyenangkan. Tetapi kami di sini terjebak pembicaraan yang arahnya tidak sedikit pun menghibur hati. Aku tahu sebenarnya dia begitu ingin melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang aku utarakan.

“Tidak ada alasan untuk tidak menikahinya.” Kau akhirnya angkat bicara.

Aku terdiam kembali. Kutatap ulang wajah kawan dekatku itu baik-baik mencoba mengenali keresahan yang belum pernah ditunjukkannya selama aku mengenalnya. Hatiku tercabik-cabik sebab dua hal: kejelasan yang akhirnya kau berikan serta sandiwaramu yang sama sekali tak apik. Ajari aku kemampuanmu berpura-pura meski hanya seperti orang yang terpaksa berperan dalam pementasan drama. Pinjami aku senyum tenang itu—aku juga ingin terlihat bahagia seperti itu sekarang. Bagaimana mungkin kau tiba-tiba seperti begitu terlatih menyembunyikan lara.

“Selamat atas rencana pernikahanmu. Semoga rencanamu untuk mencintainya berwujud.”

“Apa kau baik-baik saja?” Kata-kata ini sepertinya terpaksa kau ucapkan agar suasana tidak menghening. “Aku sungguh-sungguh tidak ingin melukaimu.”

Jadi sejak kapan ternyata kau tahu perasaanku? Sebab aku selalu saja tak berhasil memberanikan diri mengutarakannya meskipun marah pada ketidakberanian. Aku terhenyak oleh kenyataan kau telah mengenali perasaanku dan masih berpura-pura bertanya. Kalimat yang kau ucapkan itu usahamu meringankan dukaku bukan? Kau bahkan tak perlu menghiburku sebab hiburanmu membuatku merasa demikian perlu dikasihani. Bagaimana mungkin kau berkata tak ingin melukai pada seseorang yang telah sekian lama kau tinggal dalam ketidakpastian. Apakah semudah itu hatimu berubah arah, memberiku harapan lalu menikahi perempuan lain?

“Kita sama-sama tahu bahwa membahas tentangku mungkin meredakan laraku tetapi sungguh itu pun tidak ada gunanya bukan? Kita tetap harus berjalan pada takdir kita masing-masing.” Terbata-bata aku berkata.

Lelaki itu berkaca-kaca. Aku melangkah pergi dengan tangis yang sudah menggantung di sudut mata. Saat ini aku hanya ingin tampak kokoh berdiri di tengah badai sebab setidaknya aku harus berhenti membebani pikiranmu. Sungguh aku akan berusaha berpindah sesegera mungkin—kau tak perlu khawatir. Abaikan setiap panggilanku sebab mungkin saja aku meracau tentang betapa beratnya hari-hari setelah ini. Aku mungkin hanya ketakutan melihat diriku yang melemah sejak hari ini. Tinggalkan aku sendiri sebab sedari awal aku memang sendiri. Seseorang yang terbiasa sendiri tidak akan hancur sebab kesendiriannya.

Hanya saja kau  yang pertama yang menyadarkanku bahwa aku sama sekali tak piawai berhadapan dengan kesendirian.
 --------

(Terinspirasi dari quote “Menikah itu nasib dan mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikah dengan siapa saja tetapi tak bisa kau rencanakan hatimu untuk siapa.” milik Sujiwo Tejo. Jika pernah membaca tulisan saya yang berjudul Menikah dan Mencintai, inilah tulisan cerpen yang saya maksud.)
image source: theclearcut.co

2 Comments:

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE